Moslem Character Building
Tidak tanggung-tanggung, setiap urusan
manusia diatur oleh Islam. Sampai perkara yang kita anggap sepele pun Islam ada
di sana apalagi dalam perkara yang besar, Islam pasti membimbing.
Ini merupakan bukti bahwa Allah Maha
Mencintai hamba-Nya, karena aturan Allah berarti kasih sayang Allah. Jika
patuh, cinta Allah akan tercurah dan jika membangkang, murka Allah akan
didapat. Selain itu, ada banyak hikmah yang terkandug di dalam setiap syariat
yang Allah atur. Seperti halnya shalat dan shaum yang bermanfaat untuk
kesehatan tubuh. Atau zakat, infaq dan shadaqah yang selain sebagai penyuci
jiwa dan harta juga sebagai jurus jitu memperlancar dan membarakahkan rezeki.
Ada banyak ajaran Islam yang komprehensif
(mencakup seluruh aspek kehidupan). Salah satunya Islam mengajarkan bagaimana
umatnya mesti memiliki sikap dan karakter yang positif.
Dalam lembaran ini, kita akan bahas tujuh
hal yang berkenaan dengan ajaran agama tentang character building
(pembangunan karakter).
Meninggakan
yang Sia-Sia
Pertama, Islam mengajarkan agar umatnya meninggalkan
yang sia-sia. Dalam kaca mata dunia saja, yang sia-sia itu akan mengantarkan
kepada kerugian. Ketika seorang pelajar enjoy dengan lamunan dan khayalannya
padahal sang guru sedang memberikan penjelasan materi ajar, hamper dipastikan
si pelajar tersebut tidak akan mendapatkan ilmu yang disampaikan guru. Alhasil,
ya... ketika guru memberikan soal latihan, ia sibuk tanya sini tanya sana,
tengok kiri tengok kanan, padahal soalnya mudah.
Di pengajian juga demikian. Ketika si
mustami’ tidur ketika muballigh menjelaskan isi khutbahnya, maka mustami’ yang
tidur tersebut dimungkinkan tidak akan menerima ilmu yang disampaikan muballigh.
Hal demikian merupakan kesia-siaan. Nah,
sebagai muslim yang baik, kita semestinya meninggalkan segala bentuk
kesia-siaan karena meniggalkan yang sia-sia dan tidak memberi manfaat merupakan
ciri baiknya Islam seseorang.
Rasulullah saw. bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ
الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Diantara baiknya Islam
seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak memberinya manfaat” (H.R. Tirmidzi).
Tidak
Menunda Waktu
Kedua, kita dibimbing agar tidak menunda-nunda
waktu. Hari ini, ya... hari ini. Esok, ya... esok. Pemanfaatan waktu yang
efektif akan membuahkan kemenangan dalam kompetisi merebutkan “piala”. Dalam
kamus sang pemenang, tidak akan ditemukan waktu luang. Guliran waktu selalu
penuh dengan hal-hal positif. Mereka memiliki keyakinan tinggi bahwa, hidup itu
bukan kemarin bukan juga esok hari. Hidup itu hari ini, detik ini. Kalau hari
ini, detik ini, tidak dimanfaatkan, berarti ia tidak “hidup”.
Oleh karena itu, mari kita manfaatkan waktu
secara optimal guna menepi di puncak harapan. Pepatah mengatakan, “waktu itu
bagaikan pedang”. Jika waktu tidak dikuasai, maka ia akan “menyabit leher” kita,
kita akan terjun ke lembah kerugian. Kuasai waktu, manfaatkan untuk hal
positif, dan azamkan bahwa kita akan meraup keberhasilan dengan tidak menyisakan
waktu luang!
Rasulullah saw. bersabda, “Jadilah
engkau di dunia layaknya orang asing atau orang yang menempuh perjalanan!”.
Kemudian dalam hadits tersebut Ibnu Umar menambahkan kalimat bijak:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ
تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ
صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika
kamu sedang berada di pagi hari, janganlah kamu menunggu sore hari. Jika kamu
sedag berada di sore hari, janganlah kamu menunggu pagi hari. Ambillah (beramallah) dari sehatmu untuk (bekal) sakitmu dan dari
hidupmu untuk matimu”. (H.R. Bukhari).
Profesionalitas
Amal
Ketiga, dalam melaksakan aktivitas (baca: amal), kita
dituntut untuk profesional. Profesionalitas yang tinggi akan menjadi salah satu
penunjang untuk menjadi yang pertama sampai di garis finish di sirkuit
kehidupan, sehingga kita akan berdiri di podium dan mengangkat tropi kemenangan
sambil sumringah tersenyum.
Rasulullah mewanti-wanti, “Jika suatu
urusan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya.”. Kehancuran
tersebut bisa datang kapan saja andaikata kita lengah dengan sikap profesional
di setiap amal. Bisa berupa nilai jeblok andai ia seorang pelajar, hengkangnya
rekan bisnis kalau ia seorang businessman, perginya pelanggan jika ia
seorang pedagang, menjauhnya teman dekat, dihinakan masyarakat jika ia seorang
pemabuk, dll.. Profesionalitas yang ditunjukkan seseorang membuktikan kedewasaan
dan gesag (wibawa) yang dimilikinya. Sehingga, orang akan menghargai dan
tidak menyepelekannya.
Resiprokal
(timbal balik) Amal
Keempat, Allah swt. memberikan wejangan bahwa, setiap
hal yang kita perbuat akan berbalaskan ganjaran setimpal. Amal baik ganjarannya
baik. Amal buruk ganjarannya buruk. Faman ya’mal mitsqāla dzarratin khairan
yarahu, waman ya’mal mitsqāla dzarratin syarran yarahu. Maka siapa saja
yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah (molekul terkecil) pun, ia
akan melihat ganjarannya (surga); dan siapa saja yang mengerjakan amal
kejelekan sebesar dzarrah pun, ia akan melihat ganjarannya (neraka).”
(Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8).
Wara` (hati-hati, apik)
Kelima, sikap hati-hati dalam hidup akan menguncupkan
buah yang matang nan manis. Sikap hati-hati bisa juga dikatakan sebagai sikap
takwa. Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab (sekrertaris
wahyu Rasulullah) mengenai arti takwa. Ubay balik bertanya, “Pernahkah engkau menyusuri jalan yang penuh
dengan duri dan kerikil tajam?”
“Ya,
pernah.” jawab Umar.
Ubay
membalas, “Apa yang kau lakukan saat itu?”
Sontak
Umar menjawab, “Saya menyingsingkan celana. Lalu melihat tempat yang akan
diinjak. Aku melangkah selangkah-selangkah karena takut tertusuk duri.”.
“Nah, itulah takwa.” jawab Ubay lugas.
Yap... berhati-hatilah dalam melangkah
karena takut dosa, berhati-hatilah dalam beribadah karena takut salah,
berhati-hatilah dalam mengonsumsi barang karena takut haram, dan
berhati-hatilah dalam berbicara karena takut menyinggung.
Jujur itu Mata Uang Abadi
Keenam,
Rasulullah mengajarkan kepada kita agar selalu hidup jujur. Jujur dalam
berbicara dan jujur dalam beramal. Sikap jujur akan membawa kita menuju al-birr
(kebaikan) dan kebaikan akan membawa kita menuju al-jannah (surga).
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ
وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ صِدِّيقًا…
“Berlaku jujurlah
kalian karena jujur itu akan menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu akan
menuntun ke surga. Tidaklah seorang laki-laki berlaku jujur dan tetap memilih
kejujuran maka ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur...” (H.R. Muttafaqun ‘Alaih).
Ketika
seseorang sudah berani berbicara tidak jujur, minimal madaratnya akan dirasakan
di dalam hatinya. Ia tidak tenang berhadapan dengan orang yang dibodohinya,
karena takut ketahuan. Selain itu, sekali tidak jujur, maka pintu-pintu
kebohongan akan terus dibuka yang pada akhirnya menjadi pembohong.
Jujur
adalah mata uang abadi yang berlaku di mana-mana. Dusta adalah mata uang
palsu yang tidak berlaku di seluruh dunia. Mengedarkan “mata uang palsu” akan
dijebloskan ke dalam “sel” oleh Allah swt..
Prasangka Boleh, Asal Baik
(husnuzh-zhan)
Ketujuh, berprasangka bukanlah solusi hidup yang
benar. Ari Ginanjar Agustian dalam ESQ-nya mengisahkan seorang karyawan yang
tiba-tiba menguap di tengah seriusnya rapat staff. Sontak, peserta rapat
melihatkan muka yang masam kepada karyawan tersebut. Pun dengan pimpinan rapat.
Ia menegurnya dengan emosional. Ia menyalahkan sikap karyawan tersebut yang
seolah tidak menganggap serius rapat yang sedang berlangsung.
Karyawan
tersebut tidak tinggal diam.
Ia membela
dirinya dengan memberikan informasi bahwa
semalaman ia tidak tidur karena anaknya sedang di rawat di rumah sakit. Untuk
menghadiri rapat pun ia harus meninggalkan anaknya yang sedang meregang kesakitan. Secara
psikologis anaknya tersebut memerlukan
motivasi untuk sembuh terutama dari ayah dan ibunya. Merahlah muka si pimpinan
rapat tersebut dan orang-orang yang menuduh jelek karena
telah berburuk sangka.
Hindarilah prasangka buruk dan busuk.
Ini tidak baik dalam menjalin ukhuwah islamiyah dan ukhuwah imaniyah.
Bangunlah pikiran positif sehingga ketika ada sesuatu yang tidak biasanya pada
diri shabat kita, kita tidak mengedepankan sangkaan yang tidak-tidak.
Penutup
Muslim itu berkarakter dan karakter
muslim itu selamanya baik. Maka, ketika seorang muslim tidak memiliki karakter
baik, pada hakekatnya bukanlah muslim. Kenapa? Muslim itu merupakan bentuk isim
fa’il (kata benda subjek) dari kata aslama yang berarti menyerahkan,
menyelamatkan atau meng-Islam-kan. Manifestasi alias perwujudannya bisa dilihat
dari ibadah dan kepribadian sehari-hari. Jika pribadinya baik, maka dialah
muslim. Jika pribadinya buruk, pada hakekatnya ia bukanlah muslim.
Oleh karena itu, mari kita sama-sama menciptakan kepribadian dan
karakter muslim pada diri kita sehingga Allah mencatat kita sebagai muslim. Seluruh
cara berhidup, mari kita serahkan dan sandarkan kepada aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah. Dengan begitu, insya Allah tujuan hidup
kita yakni bahagia di dunia dan di akhirat akan terwujud sempurna.
Wallāhu a’lam.
Oleh: Yusuf Awaludin | Buletin Tanwir 2012
No comments