ads header

Postingan Terbaru

Fenomena Umrah

Definisi Umrah
Kata umrah seakar dengan kata ‘amara yang berarti mendiami rumah, ‘amira yang berarti berumur panjang, a’mara yang berarti memakmurkan. Umrah itu sendiri secara bahasa berarti:
اَلزِّيَارَةُ الَّتِى فِيْهَا عِمَارَةٌ
“Ziarah yang merupakan manifestasi rasa cinta (kepada Allah)”.

Sedangkan menurut istilah syara’, umrah adalah:
زِيَارَةُ بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ وَهُوَ النُّسْكُ الْمَعْرُوْفُ الْمُتَرَكَّبُ مِنَ الْإِحْرَامِ وَالتَّلْبِيَّةِ، وَالطَّوَّافِ بِالْبَيْتِ، وَالسَّعْيِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَالْحَلْقِ أَوِ التَّقْصِيْرِ
“Ziarah ke Baitullah al-Haram berdasarkan jalan yang khusus yaitu manasik yang dikenal, yang terdiri dari ihram, talbiyah, thawaf di baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan mencukur rambut seluruhnya atau sebagian”.

Fadilah Umrah
Adapun keutamaan yang akan didapat bagi yang melaksanakan umrah adalah mendapatkan kafarat (penghapus) dosa antara umrah dengan umrah yang telah dilaksanakan. Rasulullah saw bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
“(Dari) umrah ke umrah lagi merupakan penghapus dosa diantara keduanya. Sedangkan untuk haji, tidak ada balasan yang pantas kecuali surga”. (H.R. Bukhari-Muslim).

Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda:
عُمْرَةٌ فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِى
“Umrah pada bulan Ramadlan sebanding dengan satu kali ibadah haji berssamaku”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Umrah dan Motivasi (Niat)
Dalam kriteria benarnya amal seseorang, niat atau motivasi merupakan suatu hal yang fundamental. Keberadaan niat menjadi penentu amal seseorang diterima atau tidaknya oleh Allah swt. di samping benar kaifiyat (cara, sebab, jenis, jumlah, waktu, dan tempat ibadah). Begitu pun dengan umrah. Ketika umrah diniatkan sebagai wujud ketaatan kepada Allah (baca: ikhlas), maka umrah yang dilaksanakan akan menjadi penghapus dosa sekaligus penambah pundi akhirat. Jika tidak ikhlas, maka umrahnya tidak lebih baik dari menyingkirkan duri di tengah jalan dengan niat ikhlas karena Allah yang sudah jelas bahwa menyingkirkan duri di tengah jalan merupakan bagian dari iman.

Dalam hadits riwayat Imam Muslim, dikisahkan ada tiga orang yang dihisab oleh Allah. Pertama, laki-laki yang mati syahid di medan perang. Ia pun mengetahui bagian pahalanya setelah diperlihatkan oleh Allah. Tetapi Allah justru memvonisnya berdusta. Apa pasal? Ternyata ikut sertanya ia di medan perang karena ingin disebut “jariy” (pahlawan). Maka, surga pun tidak jadi ia raih. Bahkan Allah memerintah malaikat untuk menyeretnya ke dalam api neraka. Na’udzu billahi min dzalik.

Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar al-Quran. Waktunya ia habiskan untuk mencari ilmu, berdakwah dan membaca al-Quran. Begitu nikmat diperlihatkan kepadanya, Allah justru menjustifikasi bahwa ia berbohong. Seluruh amalnya tersebut ternyata dilandasi karena ingin dipandang sebagai orang alim dan pandai membaca al-Quran. Allah pun melemparkan orang tersebut ke dalam api neraka. Na’udzdu billah min dzalik.

Ketiga, orang yang punya harta melimpah dan hartanya ia habiskan di jalan Allah untuk membiayai asnaf-asnaf zakat, infaq, dan shadaqah. Tetapi apa yang dikatakan Allah? Lagi-lagi Allah memvonis, “Kadz-dzabta” (engkau bebohong). Ternyata, ia beramal dengan hartanya tersebut karena ingin disebut “jawwād” alias dermawan. Apa yang terjadi? Allah melemparkan orang itu ke dalam api neraka. Na’udzdu billah min dzalik.

Anda bisa membayangkan betapa hebatnya amal ketiga orang sebagaimana hadits Muslim tersebut. Mati di medan perang, mencari ilmu, berdakwah dan qira`ah al-Quran; dan menghabiskan harta di jalan Allah. Tapi ending-nya buruk. Ketiga orang tersebut malah dijadikan “kayu bakar” neraka.

Selidik punya selidik, hanya satu sebab ending buruk yang mereka alami, yaitu landasan beramalnya (baca: niat) bukan karena Allah. Orang pertama ingin disebut jariy alias pahlawan, orang kedua ingin disebut ‘alim (orang pintar) dan qariy (pandai membaca Quran), dan orang ketiga ingin dipandang jawwād alias dermawan. Jelas bahwa niat menentukan nilai amal di hadapan Allah swt..

Kembali ke masalah umrah. Jika umrah yang dilakukan niatnya bukan karena Allah, mungkin karena ingin dipandang “wah”, hanya sebagai vakansi saja atau bahkan bisnis aji mumpung, maka nasib seperti ketiga orang tadi mungkin saja bisa Dalam arti, niat umrah kerana riya atau sum’ah bukan membukakan pintu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Justru sebaliknya, akan  membuka pintu keburukan.

Fenomena Umrah dan Umat
Umrah saat ini sudah menjadi fenomena umat. Terutama di kalangan selebritis. Banyak seleb yang mendadak umrah. Banyak pula aghniya yang hampir tiap tahun melaksanakan umrah.

Bagi yang memiliki harta dan kemampuan, umrah yang dilakukan secara rutin setiap tahun, akan menjadi jalan penghapus dosa yang ada diantara kedua umrah. Namun, bagi siapakah pahala ini? Apakah setiap yang umrah sudah pasti mendapat pahala?

Kembali kepada permasalahan penentu benar-tidaknya amal sebagaimana di muka (niat), maka umrah bisa menjadi sumber pahala, bisa juga menjadi malapetaka.

Umrah bisa menjadi sumber pahala bagi siapa saja yang umrahnya benar-benar dengan niat ikhlas hanya untuk mengharap ridla Allah swt.. Tetapi, jika umrah yang dirutinkan karena ingin mendapat sanjungan masyarakat (baca: riya, sum’ah), maka nasib pelaksana umrah bisa saja sama dengan nasib ketiga orang yang beramal hebat sebagaimana dikisahkan pada hadits Muslim. Amalnya hebat dan luar biasa, tapi hasilnya nihil. Na’ūdzu billāhi min dzālik.

Selain niatnya mesti ikhlas dan kaifiyatnya harus benar, ibadah lainnya pun mesti diseimbangkan. Jangan sampai ada kisah tentang seseorang yang haji dan umrah secara rutin tetapi ibadah lainnya tidak menjadi perhatian terutama ibadah maliyah (harta). Pada akhirnya, yang miskin dibiarkan dalam kemiskinannya, yang fakir tetap dalam kefakirannya. Perjuangan dakwah dan pendidikan pun, sarana dan pasarananya, kurang terperhatikan.

Oleh karena itu, perlu adanya keadilan dalam beramal. Tentunya sesuai kemampuan. Jika haji dan umrah dilaksanakan rutin, maka zakat, infaq dan shadaqah pun harus giat dan rutin. Untuk apa dan siapa? Ya, untuk umat dan fasilitas-fasilitas ibadah umat. Namun, yang paling pokok adalah untuk menyantuni delapan asnaf sebagaimana disebut dalam al-Quran Surat at-Taubah ayat 60. Dengan begitu, akan terjadi keseimbangan dan keajegan ibadah dan menghindari prasangka tidak baik dari berbagai pihak terutama kaum dlu’afa..

Terlebih saat ini umat, pendidikan dan dakwah benar-benar membutuhkan uluran tangan aghniya. Orang kafir saja memiliki dana “dakwah” bagi para misionarisnya sehingga mereka siap memurtadkan kaum muslimin di pedalaman walaupun harus menyeberangi laut, mendaki gunung dan merangsak hutan belantara. Kenapa? Ada dana yang menjamin kehidupan mereka dan keluarga mereka di samping pengamalan ajaran ketuhanan mereka.

Maka, umat Islam pun jangan hanya disuruh mengandalkan niat ikhlas karena Allah, tapi sokonglah dengan dana yang cukup sehingga perhatian dakwahnya terfokus. Dan ini, merupakan tugas mulia bagi kaum aghniya. Sehingga terciptalah kondisi ideal yakni umat sejahtera pendidikan dan dakwah pun merata.

Lebih dari itu, menyantuni kaum papa akan menjadi sumber berkahnya rezeki dan kehidupan. Selain Allah menjanjikan pahala melimpah, insya Allah banyak kaum tertolong yang mendoakan para aghniya. Minimal dengan doa “jazākumullāhu khairan katsīra”, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan yang banyak. Ini merupakan keuntungan luar biasa. Semakin banyak partisipasi maliyah untuk umat dan seluruh kegiatan umat, semakin banyak pula doa-doa ikhlas yang dialunkan.

Strong Point
Umrah itu akan menghadirkan kebaikan dan pahala melimpah (baca: magfirah) ketika niat melaksanakannya Lillāhi Ta’āla, karena Allah swt. dan kaifiyatnya sesuai tuntunan Rasulullah saw.. Dan, umrah akan menjadi amal yang sangat mulia ketika diiringi dengan keseimbangan dalam ibadah lainnya, terutama ibadah maliyah. Dalam arti lain, umrah rutin; zakat, infaq dan shadaqah pun tetap istiqamah. Wallāhu a’lam.



Sebelumnya mari kita pelajari hadits berikut:
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَحُجُّ أَغْنِيَاءُ أُمَّتِى لِلنُّزْهَةِ وَأَوْسَطُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ وَقَرَاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ (الديلمى عن أنس)
“Akan datang kepada manusia suatu zaman yang pada zaman itu orang kaya di kalangan umatku melaksanakan haji untuk bertamasya, orang menengah melaksanakan haji untuk berdagang, orang fakir berhaji untuk menyelesaikan masalah, sedangkan para ulama untuk sum’ah dan riya”. (H.R. ad-Dailami).

Haidts tersebut derajatnya dla’if karena diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dla’if dan tidak dikenal. Loh, kok berdalil dengan hadits dla’if? Para ulama berpendapat, hadits dla’if boleh diamalkan atau dijadikan dalil dengan syarat, isinya hanya sekedar fadilah amal. Namun, dalam kitab Qawāidut Tahdīts dijelaskan oleh penulisnya, Syaikh Muhammad jamaluddin al-Qasimi, bahwa Imam Bukhari, Abu Bakar Ibnul Araby, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm berpendapat, hadits dla’if secara mutlak tidak bisa diamalkan.


Oleh karena itu, untuk meninggalkan keraguan, hadits tersebut tidak dijadikan dalil. Kita hanya akan membandingkan dengan fenomena zaman hari ini tentang maraknya umrah di kalangan umat Islam.

Oleh: H. Nana Juhana | Buletin Tanwir 2012

No comments