ISLAM DAN PERADABAN MELAYU-INDONESIA
Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum.*)
Banyak cendikiawan merumuskan bahwa agama merupakan unsur
pokok dalam suatu peradaban (civilization). Agama, kata mereka, adalah
faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu,
Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization”,
dengan unsur utama agama Kristen. Menurut Marvin Perry, peradaban-peradaban
kuno seperti Mesopotamia dan Mesir Kuno juga menempatkan agama sebagai unsur
utama peradaban mereka.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib
al-Attas, menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu,
kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa
terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. Bahasa melayu yang kemudian
menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia merupakan “bahasa
Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa. Sebab itu,
Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan
unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian
berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional.
Pada umumnya, ketika berbicara mengenai Islamisasi
kepulauan Nusantara, pembicaraan lebih difokuskan pada fakta-fakta yang
sifatnya artefak peninggalan zman Islam atau catatan-catatan perjalanan yang mengisahkan
pertemuan dengan komunitas Muslim di wilayah ini. Kita perhatikan beberapa
perdebatan teoritis mengenai masuknya Islam ke wilayah ini. Semua berakar pada
fakta-fakta kasat mata yang bersifat artefak belaka. Beberapa teori yang
populer di antaranya teori Gujarat, teori Persia, dan teori Cina. Bahkan teori
yang juga dipegangi, yaitu teori Arab, juga mendasarkan analisis pada hal-hal
yang sifatnya artefak dan berita pelancong.
Pandangan inilah yang ingin dipatahkan oleh al-Attas.
Al-Attas sendiri sesungguhnya termasuk yang mendukung teori Arab. Pendekatan
analisisnya adalah baginya, Islam berasal dari Arab sudah semestinya. Sekalipun
melalui tangan siapa saja, bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an pasti akan
tetap menjadi dasar penyebaran Islam. Dengan begitu, hulu Islamisasi tetap akan
berasal dari Arab sebagai bangsa dan bahasa yang dipilih untuk diturunkannya
Nabi Muhammad SAW dan al-Qur’an.
Dalam melihat proses Islamisasi kepulauan Nusantara yang
padanya dibawa serta al-Qur’an yang berbahasa Arab, al-Attas justru dengan
sangat jeli bagaimana pengaruh konsepsi-konsepsi bahasa Arab al-Qur’an dalam
mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat. Oleh sebab itu, ia berusaha
untuk menilik proses Islamisasi itu dari sudut pandang pemikiran dan falsafah.
Umumnya, para peneliti Barat lebih berfokus pada sudut pandang sosial dan
politik dalam melihat aspek-aspek Islamisasi di Nusantara. Pada aspek
kebudayaan, terutama pada seni sastra dan artefak sebagai ekspresi kultural,
dilihat oleh para peneliti Barat sebagai belum memperlihatkan pengaruh Islam
yang signifikan. Oleh sebab itu, bagi mereka Islam tidak lebih hanya sebatas
menjadi pelitur saja. Orang-orang masuk Islam hanya disebabkan faktor-faktor
sosial-ekonomi yang lebih menguntungkan sebagai orang Islam dan faktor politik
di mana raja-raja telah banyak yang memeluk Islam.
Tilikan semacam itu tidak menyentuh aspek paling dalam
dari Islamisasi, yaitu pemikiran. Aspek pemikiran ini tidak bisa dilihat dari
proses-proses sosial, ekonomi, dan politik. Pun tidak mungkin diungkap apabila
analisis terhadap aspek kebudayaan dan bahasa semata-mata dilihat dari
hasil-hasil karya sastra yang bersifat seni belaka yang hanya memuja keindahan,
tanpa memedulikan isi pemikirannya yang beguna bagi kehidupan. Prosa-prosa yang
mengandung unsur-unsur pemikiran serius dan konsepsi kebahasan yang matang
banyak diabaikan seperti karya-karya Hamzah Fansuri.
Penelusuran sejarah harus bertumpu pada naskah-naskah
tentang hal-hal mendasar dalam mengkonsepsi pemikiran. Tentu saja,
naskah-naskah tersebut selain bernilai seni tinggi, juga mencerminkan pemikiran
yang mendalam. Kesimpulan pendekatan semacam ini ditawarkan Al-Attas setelah ia
secara sangat baik menulis mengenai naskah-naskah tulisan Hamzah Fansuri. Ia
berkesimpulan bahwa inilah naskah ”melayu modern” paling penting dan paling
berpengaruh hingga penulisnya layak disebut sebagai bapak sastra melayu modern,
bukan Abdullah Munsyi yang terpengaruh oleh Barat. Karakter bahasa Melayu
seperti yang tercermin dalam karya-karya Hamzah Fansuri inilah yang nanti
diikuti oleh para penulis Melayu berikutnya seperti Abdul-Rauf Singkel,
Syamsudin Pasai, dan Nurudin Al-Raniry. Semenjak itu pula, bahasa Melayu yang
tersebar di masyarakat pun adalah bahasa melayu yang telah mendapat perubahan
seperti dalam naskah-naskah Hamzah Fansuri itu.
Al-Attas membandingkan apa yang menjadi esensi dalam
sejarah modern di Eropa dengan apa yang terjadi di kepulauan Nusantara. Di
Eropa, kemoderenan muncul karena interaksi Eropa dengan umat Islam yang
mengajarkan berpikir rasional dan ilmiah. Selama berabad-abad Eropa berada
dalam kungkungan kebudayaan Romawi yang tidak pernah mengantarkan Eropa pada
puncak kejayaannya. Baru setelah Islam masuk ke Eropa dan diperkenalkan kepada
masyarakat Eropa, sekalipun mereka tidak kemudian menjadi Muslim, tapi
unsur-unsur rasional dalam Islam inilah yang mereka jadikan dasar serius dalam
mengembangkan kebudayaan mereka.
Hal yang sama juga terjadi di kepulauan Nusantara yang
berbahasa Melayu. Sebelum bersentuhan dengan Islam, bahasa Melayu Kuno adalah
bahasa seni atau bahasa estetis. Semesta bahasa yang dikandungnya tidak
menggambarkan pemahaman atas wujud secara rasional dan ilmiah. Wujud yang
dihadapi hanya dilihat dari sudut estetika hingga pemahaman atas wujud tidak
pernah melahirkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Berbeda saat Islam datang ke
wilayah ini. Al-Qur’an yang merupakan sumber pokok ajaran agama ini mengajarkan
terlebih dahulu tentang konsepsi wujud secara benar. Wujud dipahami secara rasional
dan ilmiah, bukan secara estetis. Misalnya, dalam paham Melayu Kuno yang
dipengaruhi Hindu-Budha, alam ini dianggap hanya bayangan semu belaka sehingga
dianggap sebagai ilusi apabila kehidupan dunia menjadi perhatian utama. Berbeda
dengan Islam yang mengajarkan bahwa wujud kehidupan dunia ini adalah nyata,
namun dia akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih abadi kelak di akhirat.
Untuk sampai ke sana, maka di dunia manusia hidup dilengkapi ruh. Pandangan
semacam ini telah mengajarkan kepada masyarakat melayu tentang bagaimana
seharusnya memperlakukan alam ini.
Konsepsi tentang wujud itu tercermin dalam bahasa
Melayu-Islam, yaitu melalui kosa-kata yang banyak dipinjam dari bahasa Arab,
bahasa yang berkembang sempurna karena menjadi bahasa al-Qur’an. Pengayaan kosa
kata bahasa Melayu dengan konsep-konsep kunci yang berasal dari Islam inilah
yang telah memungkinkan orang-orang di kepulauan Nusantara ini secara mudah
dapat memahami apa yang diajarkan Islam, yaitu cara-cara berpikir rasional dan
ilmiah. Ini pula yang menyebabkan masyarakat di kawasan ini mulai meninggalkan
dunia klenik dan mistik menuju dunia ilmiah-rasional yang berimplikasi pada
kemajuan peradaban yang tinggi.
Berangkat dari pentingnya peranan agama dalam suatu
peradaban, maka dapat dijelaskan, bahwa tanda-tanda kehancuran suatu peradaban
dapat dilihat sejauh mana unsur utama (agama) dalam peradaban tersebut tetap
terpelihara dengan baik.
*) Disampaikan dalam kegiatan "Studi Islam Intensif 2016 - Kajian Intelektual Ramadhan" pada hari Kamis, 16 Juni 2016.
No comments