Mana yang lebih penting, tarbiyah atau kembali ke Qur’an dan Sunnah?
Oleh: Akmal Sjafril
Assalaamu’alaikum wr. wb.
“Mana yang lebih penting, tarbiyah atau kembali ke Qur’an dan Sunnah?”
Pertanyaan ini membuat pikiran saya agak sibuk selama beberapa waktu. Di satu sisi, ada kelompok yang kesibukannya senantiasa berorientasi pada tarbiyah, mengikuti ungkapan termasyhur dari Syaikh Musthafa Masyhur, “Tarbiyah bukan segala-galanya, namun segalanya bermula dari tarbiyah.” Di sisi lain, ada juga retorika lain yang tidak kalah termasyhurnya, yaitu bahwa umat Muslim telah mewarisi Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan karenanya, mereka harus selalu merujuk pada keduanya dalam segala hal. Istilahnya: “Kembali pada Qur’an dan Sunnah!”
Sebelum segala sesuatunya, kita harus meluruskan dua hal. Pertama, “tarbiyah” secara sederhana dimaknai sebagai pendidikan, pembimbingan, dan makna-makna yang sejenis. Sebagaimana kata “dzikr” (mengingat) selalu identik dengan “dzikrullaah” (mengingat Allah), kata “tarbiyah” pun memiliki konotasi yang jelas dan tidak ditafsirkan secara serampangan. Artinya, meski “tarbiyah” kurang lebih bermakna “pembimbingan”, namun ia tidak mencakup pembimbingan untuk menjadi pencuri yang handal, pendidikan untuk meracik minuman keras bagi para bartender, atau hal-hal yang berkaitan dengan maksiat lainnya. Pembimbingan yang dimaksud di sini adalah untuk hal yang baik-baik, dengan penekanan lebih pada masalah agama, tanpa melakukan dikotomi dengan perkara-perkara lainnya.
Kedua, kita tidak akan memperdebatkan perlu-tidaknya merujuk kepada Qur’an dan Sunnah, karena hal tersebut adalah bagian dari Rukun Iman. Tidaklah dikatakan beriman jika seseorang tidak meyakini kebenaran Kitabullah dan sunnah Nabi saw.
Bagaimana pun, pertanyaan di atas menciptakan kerumitan yang unik.
Hal yang paling cepat terpikirkan oleh saya untuk menjawab persoalan ini adalah dengan menggunakan analogi. Meski analogi adakalanya tidak mampu menggambarkan permasalahan secara komprehensif, namun ia bisa digunakan untuk memperbandingkan hal-hal yang memiliki sejumlah aspek signifikan yang memiliki kesamaan. Analogi memudahkan kita untuk memahami sebuah persoalan dengan menganalisisnya dalam ‘bentuk’ yang lebih sederhana atau familiar.
Dalam benak saya, tarbiyah dapat dianalogikan sebagai sekolah dan segala aspek yang ada di dalamnya. Esensinya, dalam sebuah sekolah harus ada murid, guru, dan proses transfer ilmu. Hal-hal material seperti bangunan, kursi, meja, saya anggap tidak esensial, karena kita bisa melakukan proses pendidikan tanpa itu semua. Di sisi lain, Qur’an dan Sunnah dapat dianalogikan sebagai buku pegangan, buku teks, atau juga kurikulum pendidikan. Bedanya, buku atau susunan kurikulum yang satu ini tidak boleh direvisi dan tidak perlu disempurnakan, tidak mungkin pula diabaikan. Kedua analogi tersebut saya rasa sudah sangat baik, karena keduanya berkaitan dengan proses pendidikan, dan dengan demikian, kita dapat memposisikan keduanya dengan tepat.
Sudah barang tentu, baik sekolah dan segala aspek di dalamnya, demikian juga buku rujukan dan kurikulum, semuanya adalah hal-hal yang penting dalam proses pendidikan. Akan tetapi, jika harus dipilih mana yang ‘lebih penting’, saya akan mantap memilih yang pertama. Sebagai catatan, saya memberi tanda kutip pada frase “lebih penting” karena tidak bermaksud mengeliminasi apa pun, apalagi Qur’an dan Sunnah.
Tentu saja kita tak mungkin bicara soal Islam tanpa mengaitkannya dengan Qur’an dan Sunnah, dalam hal apa pun. Akan tetapi, bahkan di hadapan kedua bacaan terbaik itu pun, kita tetap membutuhkan bimbingan. Keduanya bukanlah kalimat-kalimat biasa yang dapat dipahami dengan mudah, disebabkan oleh kedalaman kandungan maknanya.
Jika kita membuka buku-buku ‘Ulumul Qur’an, kita akan melihat bahwa menafsirkan Qur’an sama sekali bukan perkara mudah. Jangankan orang awam, para ulama pun tidak memiliki kapasitas yang sama dalam urusan ini. Begitu banyak ilmu yang harus dikuasai terlebih dahulu sebelum kita diperbolehkan menafsirkan Qur’an sendiri. Begitu pun, para ulama besar masih sangat berhati-hati dalam melakukannya.
Kalau kita menengok sedikit ke kedalaman ilmu-ilmu Hadits, kita juga akan menemukan situasi yang tidak kalah kompleksnya. Hal paling penting dalam ilmu Hadits adalah menentukan keshahihan suatu hadits. Jika suatu hadits bernilai dha’if, maka ia tidak lantas dibuang begitu saja, karena para ulama bisa menerima penggunaan hadits dha’if dengan sejumlah batasan ketat. Bahkan ketika kita berhasil menemukan hadits yang shahih sekalipun, masih ada kemungkinan munculnya masalah, sebab ada sejumlah hadits shahih yang sekilas terlihat bertentangan.
Di luar itu semua, meski tentu saja Qur’an dan Sunnah harus dijadikan rujukan utama, namun pada kenyataannya fiqih tidak hanya dibangun dari keduanya. Sebab, dalam hal-hal tertentu memang dibutuhkan ijtihad. Pembukuan Qur’an menjadi mushhaf yang kita kenal sekarang adalah sebuah ijtihad, demikian juga penelitian keshahihan hadits dengan berbagai kriterianya adalah ijtihad. Jadi, sadar atau tidak, ketika mempelajari Qur’an dan Sunnah, pada saat itu kita sudah menggunakan produk-produk ijtihad.
Persoalannya, pendidikan adalah sebuah proses yang tak mungkin diabaikan. Tidak ada orang yang bisa menjadi ahli dalam suatu bidang dalam waktu semalam. Kalau pun yang ada di hadapan kita adalah ayat Al-Qur’an dan hadits shahih yang dapat dipastikan kebenarannya, belum tentu kita memiliki cukup kapasitas untuk menafsirkan dan mengaplikasikannya dengan benar. Sebelum kita berada di jajaran para mujtahid, sebaiknya tidak bersikap setara dengan nama-nama besar itu. Para imam madzhab, misalnya, adalah ulama-ulama terbesar yang tidak diragukan lagi pemahamannya akan Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, meskipun ber-madzhab tidaklah wajib, namun sangatlah absurd jika kita menyerukan kembali pada Qur’an dan Sunnah namun mencela madzhab-madzhab tersebut.
Di sinilah pentingnya tarbiyah. Tanpa proses yang benar, ‘buku rujukan dan acuan kurikulum’ yang benar pun belum tentu bermanfaat. Untuk belajar dari buku pegangan, kita butuh guru yang berkompeten. Demikian pula untuk memastikan kurikulum yang sudah rapi bisa dijalankan hingga tepat sasaran, dibutuhkan guru yang berkompeten pula. Seorang murid harus menjaga adab sesuai posisinya sebagai murid, bahkan seorang guru pun haruslah memelihara adab sesuai kapasitas keilmuannya, sebab guru di sekolah bukanlah pemilik ilmu tertinggi di kolong langit. Dari proses pendidikan inilah kita mengenal adab.
Hal sebaliknya terjadi jika kita memegang Qur’an dan Sunnah, memiliki komitmen untuk berpegang teguh padanya, namun bersikap bagai mujtahid dengan mengabaikan ‘rantai keilmuan’. Persoalannya sederhana saja: kita belajar Islam dari generasi terdahulu. Oleh karena itu, sangatlah absurd jika orang di jaman sekarang mempelajari Islam tanpa memelihara adab kepada generasi sebelumnya, atau para ulama terdahulu. Jika hal ini dibiarkan, maka akan muncul generasi seperti Khawarij yang keblinger karena mudah mengkafirkan sesama Muslim lantaran menggunakan dalil-dalil tanpa ilmu. Tidak tanggung-tanggung, yang mereka cela dahulu adalah para sahabat Nabi saw. Jika para sahabat mereka cela, sedangkan mereka adalah orang-orang yang pernah hidup bersama Nabi saw, lantas mereka belajar Islam dari siapa? Hal yang sama juga terjadi pada kalangan Rafidhah atau yang kini kita kenal dengan nama Syi’ah.
Jika kaum Khawarij dianggap kaku dalam beragama, maka di sisi lain ada juga yang terlalu ‘luwes’. Di jaman sekarang, kelompok Islam liberal bisa dimasukkan ke dalam kategori ini. Mereka membenarkan ijtihad, namun tidak memelihara adab. Karena tidak beradab, maka tidak memahami posisi diri, sehingga yang paling awam pun nekad ber-ijtihad, sedangkan yang benar-benar mujtahid malah dilecehkan. Menurut saya, baik yang berciri Khawarij maupun yang liberal sama saja sumber penyakitnya, yaitu tidak memelihara adab. Itulah akibatnya jika proses pendidikan tidak diikuti dengan baik.
Meski demikian, ada juga perbedaan tajam di antara keduanya. Kaum Khawarij, dengan segala kekeliruannya yang sangat fatal, tidak dianggap kafir. Motif mereka adalah menjadikan Qur’an dan Sunnah sebagai acuan, hanya saja ilmu yang mereka miliki tidaklah memadai. Sangat jauh berbeda dengan kaum liberalis yang menganggap Qur’an tidak suci, bahkan dongeng, atau nekad mengkritik Nabi saw dan merendahkan para sahabat beliau. Tidaklah berlebihan kiranya jika kita mengatakan bahwa ketika seorang liberalis membahas makna Qur’an, sebenarnya ia hanya tengah memperjuangkan kepentingan sesaat saja, sebab ia tak benar-benar beriman padanya.
Proses tarbiyah adalah perkara yang sangat penting dalam pendidikan. Dengan melaluinya, kita belajar menghargai proses, dan juga belajar menghargai orang-orang yang telah terlebih dahulu mendahului kita di jalan yang sama. Itulah adab, yang sebenarnya lebih penting daripada ilmu.
Sumber: malakmalakmal.com
No comments