Malas Membaca: Problem Kemajuan Umat
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ
“Bacalah
dengan menyebut nama Rabb-mu yang telah menciptakan!”
Membaca itu Sangat Penting
Membaca merupakan konten wahyu pertama yang Allah sampaikan kepada Nabi
Muhammad melalui Jibril a.s.. “Iqra` bismi rabbikal-ladzī khalaqa! Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang telah menciptakan!” Demikian Jibril menyampaikan perintah Allah secara tegas.
Apa maksud Allah memulai risalah kenabian dengan perintah membaca? Seberapa
pentingkah membaca bagi umat manusia? Lalu, bagaimana jadinya jika manusia,
terutama yang beridentitas muslim, malas membaca?
Pembaca yang dimuliakan Allah, jaman nirleka (prasejarah) berakhir setelah ditemukan dan
berkembangnya tulisan di masyarakat saat itu. Nir itu sendiri berarti
tidak ada dan leka berarti tulisan. Jadi, nirleka berarti jaman
tidak adanya tulisan.
Setelah tulisan ditemukan dan berkembang,
maka manusia mengalami fase sejarah. Ini menandakan bahwa kemajuan umat manusia
saat itu berawal dari tulisan. Mafhūm muwāfaqah (pemahaman sesuai konteks)
dari hal ini adalah, jika ada tulisan berarti ada bacaan. Jika ada bacaan, maka
sikap selayaknya dan semestinya adalah membaca tulisan atau bacaan itu. Kesimpulan lugasnya, kegiatan membaca
mengantarkan umat manusia pada kemajuan peradaban. Oleh karena itu, logis jika
Allah menyampaikan wahyu pertama kontennya berkenaan dengan membaca. Allah
menghendaki umat manusia agar maju dan berkembang.
Ukuran kepentingan kegiatan membaca bagi
kita adalah seperti kita makan dan minum. Saat lapar, yang terlintas di pikiran adalah segera
makan. Saat haus, ya segera minum. Dan, ini spontan terjadi. Kita tidak berpikir
berat dan lama untuk segera makan dan minum jika lapar dan haus dirasakan,
kecuali ketika sedang shaum.
Kenapa kita makan dan minum? Ya, agar bisa
bertahan hidup. Manusia kan perlu pangan untuk hidup? Sengaja tidak makan dan
minum, hidup pun akan terganggu bahkan bisa saja berujung pada kematian. Nah, membaca identik dengan makan dan minum.
Jika tidak membaca maka hidup pun “terganggu” bahkan bisa saja bertepi pada “kamatian” pikiran, perasaan dan
amal.
Apa yang Harus Dibaca?
Membaca dalam bahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu qara`a dan talā.
Keduanya mutaradif (sinonim). Namun, jika kita menelaah kata-kata yang
seakar dengannya, ada sedikit perbedaan yang kita dapatkan. Sebagaimana kita
ketahui bahwa qara`a itu arti asalnya adalah menghimpun. Ini menjadi
alasan ahli bahasa bahwa qara`a ini bukan saja diartikan membaca secara
teks, konteks tetapi membaca segala hal yang tujuannya untuk menghimpun ilmu
dan pelajaran. Sedangkan talā, diartikan membaca yang dibatasi pada teks
saja.
Pembaca yang dirahmati Allah
swt., kalimat pada wahyu pertama berbunyi “Iqra`!”, dengan menggunakan kata qara`a.
Ini menyiratkan bahwa bukan hanya teks yang mesti dibaca atau mengikuti suatu
bacaan yang dibaca, tetapi lebih dari itu segala hal yang ada di alam semesta
ini patut kita baca. Membaca suatu situasi atau keadaan merupakan bagian dari pengamalan
“Iqra!”. Menafakuri keberadaan matahari, bulan dan bintang juga bagian dari
membaca. Memahasucikan Allah ketika menyadari betapa hebatnya Allah menciptakan
seluruh organ di tubuh kita. Ini juga merupakan proses membaca. Membaca diri
sendiri, sudah sampai manakah ketaatan kepada Allah? Sudah berapa besarkah
andil kita dalam perjuangan? Ini termasuk kegiatan membaca yang tak kalah
pentingnya daripada membaca bacaan tertentu.
Jika begitu, yang harus dibaca
itu ada dua macam, yaitu teks atau bacaan, seperti al-Quran, kitab-kitab para
ulama, buku, majalah, koran, buletin, dll.; dan non teks yaitu segala hal yang
terjadi di alam raya ini.
Para Pembaca Ulung
Khusus untuk membaca teks, mari kita belajar kepada para pembaca ulung. Sebelum
menulis buku Membumikan Al-Quran, M. Quraish Shihab harus membaca kurang lebih
124 referensi yang relevan. Mantan ketua PD Persis Kota Tasikmalaya, Drs. H. Uu
Suhendar, M.Ag., untuk menghasilkan karya yang luar biasa, Tafsir Al-Razi,
beliau menelaah 70 referensi buku dan kitab. Sedangkan untuk bukunya Tafsir
Tematik Lansia dalam Al-Quran, sebanyak 48 buku dan kitab dipelajarinya
terlebih dahulu. Sementara itu, 84 referensi buku dan kitab harus dikaji
terlebih dahulu oleh Dewan Hisbah Persatuan Islam sebelum melahirkan buku kecil
80 halaman yang berjudul Thuruq al-Istinbath Dewan Hisbah Persatuan Islam.
Maka, kecakapan menulis para penulis berawal dari keranjingan dan kedisiplinan
membaca.
Beralih ke kebudayaan suatu negara. Berbicara kegiatan membaca sebagai
budaya bangsa, ingatan kita tertuju pada sebuah negara yang dua kota
pentingnya, Nagasaki dan Hiroshima, pernah dibom nuklir oleh Amerika. Nagasaki dijatuhi nuklir “Little Boy” tanggal
6 Agustus 1945 dan Hiroshima dilahap nuklir “Fat Man” tanggal 9 Agustus 1945.
Enam bulan sebelumnya, 67 kota di Jepang habis dilabrak bom-bom Amerika.
Anda pasti sudah tahu bahwa negara tersebut adalah Jepang. Jepang merupakan
negara yang tumbuh dan berkembang yang salah satu penyebabnya adalah budaya
baca melekat di penduduknya.
Di kereta listrik, di bis-bis, di tempat umum lainnya, jika sedang tidak
ada kerjaan, orang Jepang lebih banyak melakukan kegiatan membaca. Bagi mereka
waktu adalah uang. Jadi, harus dimanfaatkan seefektif mungkin. Indonesia perlu
belajar dari rakyat Jepang dalam budaya membaca. Empat sampai enam jam sehari,
membaca adalah wajib bagi orang Jepang. Rakyat Indonesia?
Teringat presentasi Prof. Dr. K.H. M. Abdurrahman, MA pada sebuah acara.
Beliau menjelaskan bahwa generasi penerus perjuangan harus banyak membaca.
Membaca merupakan awal kemajuan diri dan sebuah bangsa. Logisnya, tidak membaca
berarti stagnasi bahkan kemunduran kualitas diri. Kemudian, Prof. Maman
menjelaskan bahwa dirinya memiliki waktu wajib baca sekitar empat jam setiap
harinya. Hebat.
Jadi, jika kita ingin menjadi orang hebat, perspektif khalayak atau minimal
perspektif diri sendiri, membaca adalah salah satu hal wajib. Sejarah sudah
gamblang membuktikan bahwa orang-orang hebat, orang-orang sukses, para ulama
merupakan orang yang rajin membaca. Eksistensi mereka menjadi orang hebat salah
satunya dibangun oleh kehebatan dalam membaca.
Membaca itu Ibadah
Bagi seorang muslim, dengan
jargon hayātuna kulluhā ‘ibādah (hidup kita, seluruhnya adalah ibadah),
membaca merupakan ibadah yang berbuah berkah, terutama membaca al-Quran. Setiap
huruf, ganjarannya dilipat sampai 10 kali kebaikan. Oleh karena itu, mari
tetapkan waktu wajib baca al-Quran. Minmal ba’da Maghrib dan ba’da Shubuh,
karena di dua waktu tersebut ada hikmah yang luar biasa untuk diri kita jika
digunakan membaca al-Quran. Berdasarkan penelitian ilmiah, ada implikasi
positif terhadap kesehatan fisik ketika dua waktu tersebut menjadi waktu wajib
baca al-Quran.
Jika membaca al-Quran menjadi ibadah, bagaimana status membaca selain
al-Quran? Apakah juga menjadi ibadah?
Pembaca yang dirahmati Allah, membaca itu salah satu teknis mencari ilmu.
Sedangkan, mencari ilmu itu hukumnya wajib. Wajib itu, dilakasanakan mendapat
pahala, ditinggalkan mendapat murka. Maka, membaca sebagai wasilah mencari ilmu
merupakan kegiatan yang akan membuahkan pahala. Membaca adalah ibadah.
Mari budayakan membaca karena rumah kita adalah taman bacaan yang sangat
indah. Tanamkan minat baca pada anak-anak kita, sehingga anak-anak kita kelak
adalah anak berpengetahuan dan berpehamanan yang benar secara intensif dan
ekstensif.
Oleh: Yusuf Awaludin | 2012
No comments