TAMTSIL ILMU DAN HIDAYAH; 3 Golongan Manusia Dalam Menyikapi Wahyu
Di
antara metode Al-Quran dan Al-Hadits dalam menguraikan ilmu adalah metode
Tamtsil alias perumpamaan. Tujuan dari hal ini adalah agar si pembaca, selain
memahami, juga diajak untuk melibatkan pemikiran dalam memvisualkan sesuatu
yang dibahas. Selain sebagai keindahan tata bahasa, tamtsil juga digunakan
sebagai cara untuk menguatkan ingatan pembaca.
Sebagai
sampel metode pengajaran tamtsil, kita pelajari hadits Rasulullan saw. berikut:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنَ
الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ، أَصَابَ أَرْضًا
Perumpamaan
perumpamaan diutusnya Aku oleh Allah dengan membawa hidayah dan ilmu, adalah
seperti hujan yang lebat menimpa tanah.
فَكَانَ مِنْهَا
نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ
Diantara
tanah itu ada bagian yang baik (subur) yang dapat menyerap air dan menumbuhkan
pepohonan dan rerumputan yang banyak.
وَكَانَ مِنْهَا
أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا
وَزَرَعُوا
Diantara
tanah juga ada bagian yang keras dapat menampung air (tapi tidak dapat
menumbuhkan). Maka dengan tanah itu Allah memberi manfaat kepada manusia
sehingga mereka dapat minum darinya, menyiram tanaman, dan dapat memberi minum
ternak.
وَأَصَابَتْ
مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ
تَنْبتُ كَلأَ
Diantara
air itu ada yang menimpa jenis tanah yang lain, yaitu tanah yang tandus dan
gersang. Tidak dapat menampung air dan tidak dapat menumbuhkan tumbuhan.
فَذَلِكَ مَثَلُ
مَنْ فَقِهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ فَعَلِمَ
وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى
اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Demikianlah
perumpamaan orang yang faham dalam agama Allah dan apa yang Allah utus kepadaku
memberi manfaat kepadanya, maka dia mengetahui dan mengajarkan ,dan perumpamaan
orang yang tidak mau mengangkat kepala dengan hal itu (sombong) serta orang
yang tidak mau menerima hidayah Allah, yang aku diutus dengan membawa hidayah
itu. (H.R.
Muttafaqun ‘Alaih).
Dalam
hadits tersebut, dijelaskan ada dua hal yang menjadi objek tamtsil
(penyerupaan) yakni air diibaratkan sebagai ilmu dan hidayah (agama), dan tanah
diibaratkan sebagai hati manusia.
Marilah kita pelajari segi-segi
keserupaan antara air dan agama (Islam dan Al-Quran) seperti yang diisyaratkan
pada ayat di atas:
1. Air =
Agama
a. Air
adalah Sumber Kehidupan di Bumi
Tidak
ada makhluk biologis yang dapat bertahan hidup dengan baik tanpa sumber air
yang baik pula. Bahkan bagi makhluk sejenis ikan keluar dari air berarti
menyongsong kematianya.
Demikian
pula wahyu Allah yang merupakan sumber utama agama, merupakan sumber kehidupan
manusia. Jika air menjadi konsumsi bagi pertumbuhan dan kesehatan
fisik-jasmani, maka agama menjadi sumber
konsumsi kehidupan manusia. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا
يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika menyeru
kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah bahwasanya
Allah membatasi antara manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah
kamu akan kembali.” (Q.S Al-Anfal [8]: 24).
Menurut
At-Thabari Maksud dari “penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul jika menyeru
kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu” adalah penuhilah seruan
Allah dan Rasul-Nya dengan ketaatan,
jika Rasul tersebut menyeru kamu kepada Allah Yang menghidupkan kamu,
yaitu kepada kebenaran. Sedangkan “dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi
antara manusia dengan hatinya” ialah pemberitahuan bahwa Allah lebih menguasai
hati hamba-Nya daripada hambanya sendiri.
b. Air Mengalir
dari Tempat Tinggi
Air diturunkan
Allah dari langit dengan sifatnya yang mengalir dari dataran tinggi menuju
tempat yang lebih rendah. Jika ia dibentengi dengan tembok atau dinding tebal
maka ia tak akan menembusnya. Ia akan tergenang hingga menyamai ketinggian
tembok atau dinding tersebut. Demikian pula dengan sifat dan karakter dari ilmu
dan hidayah. Ia turun dari yang Mahatinggi, Allah swt.. Diturunkan kepada umat
manusia melalui para utusan-Nya agar didakwahkan kepada segenap umat manusia.
Tetapi, ada banyak benteng yang menghalangi masuknya ilmu. Benteng tersebut di
antaranya takabur (sombong) dan haya’ (malu).
Takabur atau
sombong hakikatnya ialah menganggap hina orang lain dan merasa dirinya yang
paling mulia sehingga menolak segala ilmu, nasehat, kritik, atau saran dari
orang lain.
Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak
akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebutir kesombongan.” (H.R.
Ahmad, Tirmidzi, Nasaiy, dan Thabraniy).
Sedangkan
haya` adalah arti sifat gengsi atau malu, hakikatnya adalah penghalang
orang untuk mendapat ilmu dan tuntutan.
Ada hadits
mauquf bersumber dari Mujahid yang bunyinya sebagai berikut:
لَا يَتَعَلَّمُ
الْعِلْمَ مُسْتَحْيٌ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
“Tidak
akan mampu menuntut ilmu orang yang malu dan sombong.” (H.R. Bukhari)
c. Air
itu Asalnya Bersih
Air
hujan ketika turun dari langit dalam keadaan suci dan bersih. Tetapi ketika
sudah jatuh menimpa tanah, ia tercemari berbagai jenis kotoran yang telah ada
di tanah itu. Sehingga air yang suci berubah menjadi hitam pekat terpolusi oleh
berbagai limbah dan kotoran.
Begitu
pun agama Allah, ilmu dan hidayah-Nya. Ia turun dari langit dibawa para Rasul
dalam keadaan suci bersih, hanif (lurus), ikhlas dan fitrah sesuai dengan
fitrah manusia itu sendiri.
Tetapi,
manakala Rasulnya sudah tiada, agama dipeluk oleh para pengikutnya berdasarkan
warisan dan tradisi turun-menurun yang
tak jarang telah tercemari oleh berbagai paham, keyakinan, tradisi dan ambisi,
hawa nafsu yang buruk. Sehingga kemurnian agama Islam menjadi keruh oleh
berbagai macam limbah, kesesatan penyimpangan.
Tauhid
bercampur dengan syirik, ibadah bercampur dengan adat-istiadat, sunnah
bercampur dengan bid’ah (sebutan untuk suatu amalan yang tidak diperintahkan,
tidak diteladankan dan disetuji oleh Rasulullah saw.).
2. Tanah
= Hati
Selain
penyerupaan agama dengan air, dalam hadits tersebut diibaratkan pula hati
manusia dengan tanah. Bagaimana penjelasannya? Mari kita pelajari….
Sisi keserupaan tanah dengan hati dalam
hadits tersebut adalah pada sisi penerimaan tanah terhadap air. ada tiga jenis
tanah yang dijelaskan, yaitu:
a.
Naqiyah (tanah subur).
Tanah
ini dapat menyerap air dan menumbuhkan pepohonan dan rerumputan.
Tanah ini merupakan ibarat hati manusia yang menerima ilmu dan hidayah (agama).
Dengan ilmu dan hidayah yang dimilikinya, ia menjadi manusia shaleh yang taat
kepada aturan Allah swt..
b.
Ajadib (keras)
Tanah ini tidak dapat menyerap air dan tidak
menumbuhkan pepohonan dan rerumputan. Tanah ini hanya dapat menampung air. Kemudian
masyarakat memanfaatkan air tersebut untuk konsumsi hidup.
Ini
adalah perumpamaan hati manusia yang dapat menampung ilmu dan hidayah. Selain
itu, ia pun bisa memberi manfaat kepada umat dengan ilmunya. Tetapi, sayang
seribu sayang, ia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu yang dimilikinya sendiri.
Dalam arti lain, ilmunya tidak ia amalkan sebagaimana mestinya. Bagaikan ilmu
lilin, orang laij diterangi tetapi dirinya sendiri celaka dan binasa.
c. Qi’an
(tandus)
Tipe
tanah ini tidak mampu menyerap air, tidak menumbuhkan pepohonan dan tidak pula
menampung air. Ini merupakan tamtsil hati manusia yang tidak mau
mempelajari ilmu sehingga tidak mendapatkan hidayah. Jika ia dinasehati,
nasehat tersebut sama sekli tidak masuk kedalam dua belah kupingnya, apalagi
harus masuk ke lubuk hatinya. Ia menolak kebenaran dan menyepelekan manusia.
Dari
keterangan hadits tersebut, Ibnul Qayyim mengklasifikasi hati manusia menjadi
tiga macam, yaitu qalbun salīm (hati yang selamat), qalbun saqīm
(hati yang berpenyakit) dan qalbun mayyit (hati yang mati).
Oleh: Yusuf Awaludin
No comments