BERSOSIAL ADALAH FITRAH MANUSIA
Manusia
diciptakan untuk Bermasyarakat
Manusia
dalam bahasa Arab disebut dengan dua istilah,
yakni basyar dan insān (bentuk jamaknya: an-nās).
Penyebutan manusia dengan kata basyar dimaksudkan manusia sebagai makhluk biologis. Asumsinya, basyar itu arti
asalnya adalah kulit, baik kulit binatang, pohon, buah-buahan atau kulit manusia itu sendiri.
Bersetubuh antara suami dan istri disebut mubasyarah (saling bertemunya
kulit).
Dalam
al-Quran, kata basyar ini disebut sebanyak 36 kali
yang seluruhnya memberi makna bahwa manusia merupakan makhluk biologis. Salah
satu ayat yang menggambarkan manusia dengan kata basyar adalah sebagai
berikut:
وَقُلْنَ حَاشَ
لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ
Dan
mereka berkata, “Mahasuci Allah! Ini (Yusuf a.s.) bukanlah basyar
(manusia secara biologis) melainkan malaikat yang mulia”. (Q.S.
Yusuf [12]: 31).
Sedangkan
penyebutan manusia dengan kata insān lebih identik bahwa manusia
merupakan makhluk yang berdimensi jiwa (psikologis, spiritual). Asumsinya, kata insān itu dekat dan
seakar dengan kata anasa (melihat, mengetahui, minta izin, lupa) yang
merupakan bagian dari jiwa dan gejala jiwa. Dalam arti lain, penyebutan manusia
dengan kata insān menunjukkan bahwa manusia itu makhluk psikologis dan
spiritual, memiliki perasaan, keinginan, cita-cita, amarah, kasih sayang, dll..
Terdapat 65 ayat yang menyebut manusia dengan kata insān.
Selain
itu, penyebutan manusia dengan bentuk jamak dari kata insān yakni an-nās,
menunjukkan bahwa manusia itu tidak hidup sendirian alias ber-ijtimaiyah
(bermasyarakat).
Karena
manusia merupakan makhluk bermasyarakat, dalam realitas kehidupan tentunya akan
melibatkan pergaulan antara satu individu dengan yang lainnya. Di sinilah
manusia harus pandai dalam aktivitas bermasyarakat karena ada aturan tertulis
dan tidak tertulis bahwa manusia, bagaimanapun strata sosialnya, memiliki hak
dan kewajiban yang sama yang perlu dijaga oleh
masing-masing individu.
Batasan
dalam Bermasyarakat
Islam menuntun pemeluknya agar memerhatikan rambu-rambu
lalu lintas bermasyarakat. Ada etika tertulis yang diajarkan Rasulullah saw.
ketika kita menjadi makhluk sosial yang pastinya bergumul dengan sesama manusia
yang berbeda-beda fisik dan wataknya.
Dalam hal
ini ada hadits dla’if menegaskan:
الْجَارُ قَبْلَ
الدَّارِ وَالرَّفِيقُ قَبْلَ الطَّرِيقِ
“Perhatikan tetangga sebelum membuat rumah dan
teman sebelum melakukan perjalanan!” (H.R.
Thabrani dan al-Khathib).
Hadits tersebut dla’if karena ada rawi yang
dinilai matruk yaitu Aban ibnu Muhbir. Meskipun hadits tersebut dla’if,
kita bisa mengambil pelajaran dari matan-nya. Pelajarannya adalah, kita
hendaknya memilih daerah dan masyarakat yang baik dan salih sebelum membangun
rumah. Selain itu, ada pelajaran lain bahwa sebelum melakukan perjalanan,
memilih dan memilah teman yang salih merupakan suatu hal niscaya dan mutlak.
Secara global, Islam mengajarkan bahwa dengan siapapun
kita bergumul dalam suatu masyarakat, hendaknya kita konsisten (istiqamah)
dalam kebenaran dan berperilaku mulia. Akhlak mulia akan mengangkat manusia
menjadi manusia terhormat. Dalam hadits pun dijelaskan bahwa akhlak mulia mampu
mengangkat derajat manusia di hadapan Allah. Sebaliknya, akhlak buruk justru akan
mengurangi pahala kebaikan yang dikumpulkan selama di dunia.
Bahkan, akhlak mulia yang Rasulullah tunjukkan kepada
orang-orang Yahudi menjadi magnet yang menarik mereka merasa takjub dan
akhirnya banyak kaum kafir Yahudi masuk Islam hanya dengan menyaksikan akhlak
Rasulullah yang mulia.
Kewajiban
Amar Ma’ruf Nahyi Munkar (AMNM)
Selain berakhlak mulia, kita pun dituntut untuk bisa Amar
Ma’ruf Nahyi Munkar (selanjutnya disebut AMNM) alias memerintah kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran. Dalam kata lain, kita diwajibkan berdakwah mengajak
manusia beragama Islam atau berdakwah agar masyarakat bisa beribadah sesuai
prosedur dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw..
Kewajiban dakwah ini diembankan kepada dua golongan.
Pertama, para juru dakwah secara lisan dan tulisan atau media-media lain.
Kedua, seluruh lapisan masyarakat muslim.
Untuk menciptakan kader-kader pada golongan pertama (juru
dakwah), perlu adanya upaya melahirkan, mendidik dan menciptakan. Siapakah yang
akan dididik, diciptakan menjadi juru dakwah? Tidak usah menunjuk orang lain.
Mari azamkan bahwa penerus dan pewaris para nabi itu adalah generasi keturunan
kita. Maka, mengarahkan anak cucu kita agar menjadi ulama merupakan himmah
(cita-cita) dan hal yang semestinya.
Untuk menciptakan golongan kedua, kita sendirilah yang
menjadi aktornya. Kita berdakwah dengan akhlak, dengan teladan. Caranya, ya
tunjukkan bagaimana ibadah yang benar sesuai sunnah. Tunjukkan pula bagaimana
beretika yang mulia. Sehingga, ketika orang Islam beribadah dengan benar dan
berkhlak dengan mulia, esensinya ia sedang berdakwah dengan perbuatan.
Ada kesimpulan dari para ulama bahwa berdakwah dengan
perbuatan lebih efektif daripada dakwah dengan lisan. Namun bukan berarti
dakwah dengan lisan menjadi tidak perlu atau bukan prioritas. Justru kesimpulan
ini menuntut juru dakwah dan umat secara umum untuk memiliki akhlak yang mulia
selain ilmu yang benar dan ibadah yang nyunnah.
Bentuk-Bentuk
AMNM
Berbicara AMNM, tentunya banyak cara yang bisa dilakukan
oleh umat. Cara tersebut disesuaikan dengan kadar dan kemampuan masing-masing.
Yang cakap sebagai da’i dengan ide dan gagasan sunnah-ilmiah, silahkan melakukan
AMNM dengan lisan di mimbar dan podium atau sekedar diskusi kecil di emper
masjid. Ini bisa dikategorikan AMNM.
Bagi Anda yang memiliki skill dalam dunia
jurnalistik, silahkan melakukan da’wah bil kitābah, berdakwah dengan
menulis. Buku, majalah, artikel di media cetak, buletin, dll. bisa dipilih
sebagai media dakwah. Namun, hal ini menuntut umat agar gemar membaca selain
giat thalabul ilmi di majlis-majlis ilmu.
Bagi kita yang merasa tidak memunyai kemampuan di dua
bidang tersebut, maka dakwah yang utama adalah dawkah dengan perbuatan. Ini
mutlak mesti.
Globalnya, dalam melakukan AMNM, ada petunjuk al-Quran
dan Hadits Rasulullah saw. yang bisa kita aplikasikan.
Tentang Amar Makruf
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Dan serulah (manusia)
kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Bantahlah mereka
dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl [16]: 125).
Tentang Nahyi Munkar
مَنْ رَأَى
مُنْكَرًا فَاسْتَطَاعَ أَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ فَلْيُغَيِّرْهُ ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ بِيَدِهِ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ بِلِسَانِهِ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barang siapa melihat kemunkaran, lalu ia
mampu merubahnya dengan tangannya, maka rubahlah! Namun, jika tidak mampu
merubah dengan tangannya, maka dengan lisannya. Dan, jika masih tidak mampu
dengan lisannya, maka dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim, lafad hadits dari Abu Mu’awiyah).
Oleh: Yusuf Awaludin
No comments