MEMANFAATKAN KELEMAHAN UNTUK MEMAKSIMALKAN IBADAH QURBAN
Tidak
ada pujian yang paling pantas kita nyatakan selain Alhamdulillah,
karena dengan rahmat dan karunia Allah SWT
kita dapat merasakan nikmatnya ‘Idul
Adha nanti dalam suasana yang tentram
dan aman, disertai keyakinan yang kuat bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi
dalam kehidupan manusia kecuali dengan takdir Allah SWT. Oleh sebab itu, sudah
sepantasnya bila pada hari tersebut
kita bertakbir, bertasbih, mengagungkan asma Allah.
Memperhatikan
perjalanan hidup kita sampai saat ini, sungguh banyak nasehat yang telah kita
dengar, namun sebagian besar isi nasehat itu telah hilang dari ingatan. Nasihat agama, khutbah id,
dan khutbah Jum’at
hanya sampai pada telinga, tidak menembus kalbu, tidak menjadi amal, bila
didengar tanpa perhatian, tanpa taffakkur dalam pikiran. Itulah sebabnya,
mendengarkan sesuatu yang wajib didengar sama berat dengan meninggalkan sesuatu yang haram
didengarkan. Keduanya membutuhkan
upaya yang sungguh-sungguh.
Sebab, bila perhatian lebih tercurahkan
pada kemaksiatan, maka kemasiatanlah yang akan sering didengar dan tidak pernah
lepas dari ingatan.
Setiap
manusia mempunyai kelemahan. Dan kelemahan inilah yang menyebabkan manusia
berkembang dan berbahagia. Karena di balik kelemahan itu terdapat kemajuan,
moderenisasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan teknologi sehingga
terjadi perubahan di pelbagai
sektor kehidupan.
Sejak
zaman Nabi Adam hingga sekarang, manusia senantiasa berupaya untuk menghilangkan
kelemahan dirinya juga kelemahan orang lain, agar mendapatkan kehidupan yang
lebih nikmat dan terhormat. Namun karena sadar terhadap kelemahannya itu,
manusia bisa berubah menjadi “makluk buas” yang berbahaya bagi sesamanya.
Menjadikan orang lain sebagai korban hawa nafsunya.
Islam mengajarkan
umatnya agar senantiasa memperhatikan kelemahan dirinya juga kelemahan orang
lain. Suatu saat ketika Rasulullah SAW
hendak menyembelih kambing, para sahabat sibuk mencari dan memperhatikan
kelemahan sesamanya.
Seorang sahabat menghadap Rasul seraya berkata,
“Wahai
Rasulullah biarlah saya yang menyembelihnya”.
Melihat hal ini, sahabat yang lain tidak tinggal diam, lalu ia berkata, “Biarlah saya yang
mengulitinya”. Demikian pula sahabat yang lain
berkata, “Biarlah
saya yang memasaknya”. Memperhatikan sikap para
sahabatnya ini, Rasulullah memandang masih ada satu kelemahan yang harus
ditutupi, karena itu beliau segera menutupinya dengan mengatakan, “Biarlah saya yang mencari
kayu bakarnya”.
(Lihat: Khulashah Siyar Sayyid al-Basyar, 87)
Peristiwa
ini menjadi ibrah bagi kita, bahwa sudah sepantasnya bila kaum muslimin
memperhatikan kelemahan sesamanya. Setelah
dipelajari, barulah ia menyingsingkan lengan baju untuk menutupi kelemahan itu
menurut kemampuan masing-masing,
baik dengan harta, tenaga, maupun pikiran. Dengan diketahuinya kelemahan orang
lain, maka terbukalah lapangan yang luas untuk beramal shalih, bertaqarrub kepada
Allah dengan penuh ketakwaan.
Apabila jiwa qurbani
seperti ini tertanam pada setiap manusia, maka tidak perlu ada si miskin menangis,
si faqir meringis, orang yang merasa terasingkan hidup di daerah terpencil, dan
merasa kesepian hidup di kota metropolitan.
Apabila jiwa qurbani
seperti ini tetap segar dan mendarah daging pada diri tiap pemimpin, maka tidak
akan ada pegawai negeri yang merasa kekurangan gaji, ibu rumah tangga berkeluh
kesah, pemuda yang bejat moral dan kehilangan pegangan hidup serta masa
depannya, sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram.
Namun sebaliknya,
apabila jiwa qurbani tidak ada pada diri manusia, maka kelemahan orang lain
bukan dijadikan modal untuk beramal shalih
melainkan dijadikan kesempatan dalam kesempitan, dijadikan korban hawa
nafsunya, sehingga kehidupan penuh dengan kemunkaran.
Ketika
Rasulullah SAW mendapatkan tugas untuk menunaikan amar ma’ruf nahi munkar, kaum
jahiliah merasa tertutup ruang geraknya untuk memanfaatkan kelemahan orang
lain, menguras keuntungan. Maka diutuslah Utbah bin
Rabi’ah membawa misi untuk membujuk Rasul agar berhenti berdakwah, dengan
memberikan ganti rugi apabila Rasul merasa rugi dengan berhentinya tugas itu.
Mereka berani
melakukan hal demikian, karena beranggapan bahwa bagaimana pun kuatnya seekor
banteng tetap saja ada kelemahan, akan tunduk pada tuannya apabila dicocoki
lubang hidungnya. Demikian pula halnya dengan Rasulullah. Maka Utbah membawa
misi untuk menundukkan kelemahan Rasul, sehingga Rasul menuruti kehendak kaum
jahiliah.
Datanglah Utbah ke
hadapan Rasul, kemudian ia meminta agar beliau menutup kegiatan dakwahnya,
mengakhiri perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran, dicari-cari titik
kelemahan beliau seraya menawarkan ganti rugi, “Jika dengan kegiatanmu itu
sesungguhnya engkau mengharapkan harta, maka akan kami kumpulkan seluruh harta
kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami.”
Utbah berani
menawarkan harta kepada rasul, karena ia memandang bahwa manusia lemah ketika
berhadapan dengan harta. Karena kelemahan terhadap harta itu, manusia menjadi
lupa akan kewajiban dan hakikat perjuangannya.
Tapi Rasul telah
menjaga dirinya dengan perisai iman dan takwa, sehingga beliau tidak lemah lagi
ketika berhadapan dengan harta. Beliau menolak tawaran ganti-rugi dari Utbah
dan tetap amar ma’ruf nahi munkar.
Utbah tidak tinggal
diam, ia masih berusaha menawarkan yang lainnya, “Dan sekiranya engkau ingin
mendapatkan kedudukan, akan kami angkat menjadi pemimpin kami.” “Dan jika engkau menghendaki
jadi raja, kami angkat engkau menjadi raja.” (Lihat: Dalail an-Nubuwwah, I : 233-234)
Utbah berani
menawarkan pangkat dan tahta, sebab manusia lemah juga ketika menghadapi tahta.
Demi tahta rela menyembunyikan kebenaran. Demi tahta rakyat diperalat, sekedar
dijadikan batu loncatan.
Beberapa
hari lagi
kita akan menyaksikan kembali hewan qurban
bergelimpangan. Darahnya mengalir memerahi Bumi
yang fana ini. Mereka
melepaskan nyawanya dengan memberi banyak manfaat kepada manusia. Sesudah
disembelih, dagingnya jadi makanan manusia, kulitnya jadi pelindung kaki
manusia, tulangnya jadi kancing baju manusia, segalanya bermanfaat. Mereka
banyak berqurban dan membantu manusia.
Kini rabalah diri
kita, qurban apakah yang sudah dibaktikan kepada Allah. Qurban apakah yang
sudah diberikan kepada sesama hamba Allah.
Oleh: Agus Salim
Buletin Tanwir Edisi 169 Th. VI, 25 Agustus 2017
Buletin Tanwir Edisi 169 Th. VI, 25 Agustus 2017
No comments