APA YANG AKAN KITA TINGGALKAN
(Belajar
Kehidupan dari Pa Haji Idim)
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…
Telah meninggal dunia
Bapak H. Idim Dimyati hari selasa (28/03/2017) sekitar pukul 22.00 WIB di RS TMC. Informasi yang
muncul di grup whatsapp, membuat member grup kaget dan tak mampu menyembunyikan
kesedihan. Pun dengan saya secara pribadi.
Masyaallah, betapa
tidak, Beliau adalah sosok yang luar biasa. Ada banyak value (nilai) dan
diferensiasi (pembeda) di diri beliau dibanding dengan yang lain, termasuk saya
pribadi. J
Saya rasa tidak akan
cukup menuliskan semuanya di lembaran yang terbatas ini. Paling tidak ada tiga
hal yang saya ambil ibrah dari kehadiran Beliau bagi masyarakat wa bil khusus
bagi jam’iyah Persatuan Islam.
Haus Ilmu
Pelajaran pertama dari Bapak H. Idim adalah terkait ilmu.
Yang saya perhatikan sejak saya masih duduk di bangku pesantren, beliau adalah
sosok yang haus akan ilmu agama. Beliau jarang sekali absent di pengajian dan selalu
saja saat pengajian berlangsung Beliau fokus menyimak pemaparan muballigh,
meski sesekali harus menahan kantuk beratnya selepas menjalankan usaha.
Selain itu, beberapa
bulan menjelang wafatnya, saat saya berdiri di mimbar Jumat, di atas kursi di
pinggir masjid, Beliau masih memaksakan diri untuk menatap saya dan menyimak apa
yang saya sampaikan. Padahal, kita sama-sama tahu, ada dispensasi (rukhshah)
bagi yang sakit untuk tidak Shalat Jumat. Beliau lebih memilih Shalat Jumat dan
menyimak khutbah, meskipun selepas Shalat Jumat repotnya ia berpindah dari
kursi ke atas becak atau kursi roda kerap terjadi. Beliau tidak menghiraukan
hal itu.
Haus ilmu. Ya,
sekali lagi Beliau sosok yang sangat haus akan ilmu. Saya menyaksikannya
seperti itu. Dan, di depan akan terlihat dari hal ini bagaimana ia bersikap,
bagaimana ia beramal, dan bagaimana ia menampilkan perangai. Indah.
Basajan
Selanjutnya, yang saya perhatikan selama ini, H. Idim adalah
pribadi yang sangat sederhana. Masyarakat tahu bahwa Beliau adalah orang yang
Allah karuniai harta melimpah. Namun, hal itu tak lantas membuatnya glamor,
bermewah-mewah, mendahulukan lifestyle daripada amal. Tidak. Yang
dipilihnya adalah kesederhanaan. Sehingga, penampilannya ya sama saja dengan
kebanyakan orang. Jika keluarganya tidak keberatan, saya meyebut penampilan Pak
Haji tidak ada bedanya dengan yang lain. Sedehana. Bahkan lebih sederhana.
Mungkin tidak
berlebihan kalau saya mengistilahkannya dengan zuhud. Maaf kalau subjektif. Di
saat ia mempunyai kesempatan untuk memiliki aset-aset hidup yang mewah, di saat
harta melimpah dan sanggup untuk mempertegas dengan cashing
(penampilan), Beliau memilih jalannya para nabi, sederhana: zuhud.
Mohon maaf,
jika ada orang fakir hidupnya sederhana, kata sebagian ulama, belum tentu ia
disebut zuhud. Tetapi, ketika ada orang yang secara materi ada, kesempatan ada,
kemudian memilih hidup sederhana, itu namanya zuhud.
Dermawan
Mungkin bukan saya saja yang menyebutnya dermawan, saya yakin
Anda yang saat ini sedang membaca juga melihat dan merasakannya. Beliau tidak
pernah takut berkurang harta dengan infak dan sedekah. Beliau pun tak pernah
ragu untuk mewakafkan sebagian tanahnya untuk pesantren, madrasah, dan
fasilitas umat lainnya.
Yang semakin
mempertegas adalah, menurut yang saya tahu dan informasi dari teman-teman lain,
beliau membelanjakan hartanya di jalan Allah seperti membuang suatu kotoran ke
sungai. Begitu diserahkan, sudah tidak diungkit-ungkit lagi, seakan ia lupa
kebaikannya sendiri. Dan, memang begitu.
Ketika kita
mendengar di media ada harta wakaf digugat, ketika kita mendengar informasi ada
muwaqif yang ikut mengitervensi kebijakan program pengelolaan wakaf setelah
diwakafkan; beliau lebih memilih fokus untuk menyiapkan amal ibadah lainnya.
Apa yang ia wakafkan sepenuhnya diserahkan kepada yang menerima wakaf. Ini
bukan hanya kesaksian saya secara pribadi, tetapi kesaksian teman-teman yang
lainnya.
Maka, tidak
berlebihan jika kami menyebutnya Utsman bin ‘Affan masa kini. Santun,
haus ilmu, haus amal, belanja harta di jalan Allah tidak hitung-hitungan. Ya,
demikian kan Utsman bin ‘Affan?
Sebenarnya masih
banyak yang ingin saya tulis. Namun, tiga poin bisa jadi represetasi semua yang
ingin saya sampaikan.
Teringat pepatah, “Gajah
mati meninggalkan gading, harimau
mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Bapak Haji Idim
Dimyati, Anda meninggalkan nama dan jejak yang baik untuk kami. Kami belajar
darimu tetang kehidupan, tentang keyakinan, tentang ibadah, tentang attitude,
tentang segala amal saleh. Kami berharap, Allah SWT mengampuni segala kesalahan
dan kekhilafanmu, dan menempatkanmu di temat yang termulia.
Khusus untuk keluarga
yang ditinggalkan, semoga Allah menganugerahkan kesabaran dan kekikhlasan, dan
semoga keluarga bisa melanjutkan kebaikan dan amal saleh Pa Haji sebagai
manifestasi birrul walidain (berbakti kepada orang tua).
Salam hormat, yang
fakir akan ilmu, Yusuf Awaludin mewakili semua yang ingin menyampaikan ta’ziyah.
No comments