ads header

Postingan Terbaru

KELUARGA DI MATA SEORANG ANAK

Image result for keluarga menurut anak
Berbahagialah sebuah keluarga dengan seorang penyejuk hati yang Allah titipkan kepadanya. Yang kehadirannya menjadikan segala sesuatu yang terlihat gelap dan sulit menjadi lebih terang dan mudah. Yang kehadirannya mengubah segala ragam kelesuan menjadi segunung-gunung semangat.

Namun, ada suatu fenomena yang cukup meresahkan beberapa tahun terakhir, jika kita masih mau memandangnya sebagai fenomena yang meresahkan. Sebuah media online nasional memberitakan seorang anak berusia sembilan tahun bunuh diri karena cintanya ditolak. Puluhan anak, yang tanpa disadari orang tuanya, menjadi korban pedofil. LGBT, yang kemudian menjadi sebuah fenomena kontroversi berkepanjangan; antara agama dan HAM, konservatif dan modern, ataupun antara toleransi dan intoleransi.

Ya Robb, dunia macam apa yang kami tinggali saat ini?

Benarkah laki-laki itu … ?

Pengalaman saya menjadi seorang pengambil data lapangan sebuah penelitian membuat saya berinteraksi dengan beragam masyarakat dari beragam kelas sosial, suku, bahkan karakter. Saya banyak mendengarkan cerita orang tua mengenai pola asuh yang mereka lakukan, bagaimana anak-anak mereka tumbuh, bagaimana persepsi mereka terhadap anaknya, dan saya mengkonfirmasi ulang kepada anaknya ketika orang tuanya sedang tidak di tempat, untuk memahami sudut pandang mereka.

Dalam satu waktu, seorang anak bertanya pada saya, apakah pendapat saya tentang homoseksual? Pertanyaan yang sulit karena saat itu saya tidak tahu pasti apa yang dialami lawan bicara saya, apakah dia sedang dalam kondisi terluka, apakah dia dalam kondisi resah, atau berbagai pengalaman menjelajahi rasa lainnya yang pernah dia alami. Yang saya takutkan terjadi, tanpa sedikitpun ragu, dia mengakui bahwa dia seorang gay, kemudian mencecar saya dalam tanya ‘Mengapa saya tidak sepakat dengan homoseksual?’ Bukankah pada kenyataannya mereka tidak mengganggu saya dan hanya ingin hidup berdampingan atau minimal diakui sebagai satu entitas masyarakat?

Saya terdiam, terlepas dari isu medis yang menyertai LGBT, saya lebih menyukai bertanya balik kepadanya, ‘Mengapa saya harus mendukung? Apakah benar itu yang dia butuhkan? Apakah dia yakin bukan sekedar pelarian?’

Sebut saja Roni, sejak kecil dia tinggal dengan seorang ayah yang temperamen. Hampir setiap hari dia melihat ibunya menangis dengan kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan oleh ayahnya. Kejadian itu terulang sekian kali di depan matanya. Apa yang dia lakukan? Roni kecil hanya sanggup meringkuk sambil menangis, Roni remaja mulai keluar rumah ketika melihat ibu dan ayahnya bertengkar, Roni dewasa menjadi tameng ibunya, dan kemudian dia memutuskan untuk melawan ayahnya. Saya teringat ucapan ibunya suatu ketika, kehidupan mereka jauh lebih baik ketika anak-anaknya telah tumbuh dewasa. Anak-anaknya sepenuhnya membelanya bahkan kini suaminya tak lagi berkata atau berbuat kasar kepadanya. Ada air mata yang jatuh saat ibunya mengatakan hal tersebut.

Duhai ibu, memang kondisinya terlihat membaik, tetapi ada yang berubah, kejadian itu selamanya mungkin meninggalkan bekas luka dan trauma bagi anak-anaknya.

Mengapa Dia berbeda?

Dalam pelariannya ketika remaja, dimata seorang Roni, perempuan adalah makhluk yang sangat lemah dan pasrah. Dalam pelariannya, Roni melihat laki-laki itu kuat, simpel, dan yang kuat dialah yang menang. Mulai detik itu dia merasa nyaman berada di dekat laki-laki.

Duhai Roni, seandainya sedari kecil kau dilimpahi kasih sayang berlimpah, hidup dalam keluarga yang diliputi kebahagiaan, dan tidak pernah mengalami pengalaman sepahit itu, apakah kecenderunganmu akan sama? Karena bagi saya gen XX secara naluriah hanya akan melirik dengan gen XY. Saya meragu, bukankah itu hanya metodemu melindungi diri dari kecewa yang telah lama kamu simpan?

Keluarga, perisai tempat semua bermula

Entitas pertama yang dikenal anak selain dirinya sendiri adalah keluarga. Keluarga adalah sebuah laboratorium kehidupan pertama bagi seorang anak. Di dalam keluarga dia bereksperimen untuk menemukan value hidupnya. Di dalam sebuah keluarga, dia menemukan formulasi hak dan kewajibannya. Masih di keluarga dia melihat interaksi orang lain diluar dirinya sendiri sampai pada tahap memahami makna toleransi.

Ah, Roni, dia hanyalah satu kisah dari ribuan kisah yang ada di seantero nusantara ini.

Fauzil Adhim dalam bukunya ‘Waktu yang Berharga Untuk Anak Kita’ menggambarkan satu tatanan keluarga yang sehat, penuh dengan kehangatan, dan kedekatan. Keluarga seperti itulah yang akan menghasilkan anak-anak yang memiliki jiwa yang bebas tetapi santun, memiliki keberanian untuk mengeksplorasi dunia luar tetapi berprinsip, sehingga dia tidak akan goyah diterpa perkembangan zaman dengan segala isme-nya.

Keluarga semacam itu hanya dapat dibangun dengan tepuk kedua tangan. Ketika biasanya error sebuah keluarga dinisbatkan kepada ibu selaku madrasah pertama anak-anaknya, maka dalam perspektif kami, seorang anak, bukanlah seperti itu. Dua fondasi yang mengokohkan bangunan ini bernama ayah dan ibu. Fondasi yang terbangun bukanlah tentang seberapa banyak materi yang mereka berikan kepada kami, melainkan nilai apa yang mereka tanam di kepala kami. Dari kedua fondasi kami, tangga kami menuju surga, kami mengharapkan ajaran hikmah dan keteladanan, sehingga kami tidak akan pernah salah mengartikan kehidupan.

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat  bukan (jalan) mereka yang dimurkai,dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al Fatihah: 6-7)

Sumber: komunitasipd.org

No comments