ads header

Postingan Terbaru

ISTIFHAAM ATAU ISTIHZAA

Di antara bahasa al-Qur’an yang sudah menjadi bahasa baku di kita adalah kata as-sualu dan kata al-mas-alatu. Pada asalnya artinya sama. Namun ketika mempengaruhi dalam bahasa kita seolah-olah kedua kata tersebut berbeda. As-Sual sering diartikan bertanya, sedangkan al-mas-alatu sering diartikan materi yang dipertanyakan. Padahal menurut arti bahasa yang asal, keduanya memiliki arti yang sama. Mencari sesuatu atau ingin tahu kepada sesuatu, istifham, yakni bertanya.

Ketika ada orang bertanya, maka tergantung persepsi yang bertanya dan bagaimana kapasitas yang menjawab pertanyaannya. Sebab pada kenyataannya, ada orang menjawab pertanyaan sehingga menjadi jelaslah masalah yang ditanyakan, tuntas masalah itu. Tidak mustahil ketika ada satu pertanyaan, dan dijawab oleh orang tertentu bukan jadi tuntas masalah tetapi bertambah masalah.

Dalam suatu perjalanan ada seorang shahabat yang mengalami luka di kepala karena tertimpa batu, kebetulan dia mengalami janabat karenanya dia harus mandi. Waktu itu beliau bertanya kepada para sahabat yang lain “Bagaimana menurut pendapat kalian apakah bagi diriku ada kelonggaran untuk tidak mandi?” Karena salat hukumnya wajib, dan bagi yang junub tidak boleh melaksanakan salat sebelum mandi, “wa in kuntum junuban faththahharuu”, bersucinya orang yang junub dengan cara mandi. Tapi yang jadi masalah air ada waktu itu. Nah inilah yang menjadi pertanyaan shahabat tersebut “kira-kira bagiku adakah kelonggaran untuk tayammum?”, hampir serempak para sahabat menjawab “tidak engkau harus mandi”. Akhirnya sahabat itu mandi lalu mati. Sampai di Madinah peristiwa ini dilaporkan kepada Rasulullah. Waktu itu Beliau murka hingga menggunakan kata-kata yang keras sekali, “Qatalahumullah” semoga Allah membalas kepada mereka yang menjawab tanpa dasar. (Lihat: Sunan Abu Daud, juz 1 : 93 no. 336)

Nah jadi, bahwa ada jawaban yang tidak menuntaskan masalah tetapi justru menambah masalah, karena menjawab tanpa ditunjang dengan dalil (argumentasi valid). Makanya kenapa di dalam al-Qur’an ataupun Sunnah Rasulullah sering kita mendengar “fas-aluu ahladzdzikri in kuntum laa ta’lamuun” hendaklah kalian bertanya –jangan kepada sembarang orang tapi– kepada ahladzdzikri.

Rasulullah sebagai manusia biasa seringkali memberikan pertanyaan dan menerima jawaban-jawaban dari manusia biasa lainnya. Para sahabat mengajukan pertanyaan apabila ternyata ada masalah yang tidak masuk, akal pertanyaannya adalah “Ya Rasulullah, apakah yang engkau sampaikan ini wahyu atau ra’yu?” Bila Rasul menjawab wahyu, tuntas masalah. Tapi bila Rasul menjawab ra’yu, para sahabat sering mengajukan atau menyampaikan pendapat.

Ketika pada suatu saat dalam satu peperangan Rasulullah menetapkan “Kita buat basecamp di sini, di sini pusat komando” waktu itu ada sahabat yang bertanya, “Ya Rasulullah! Ra’yu atau wahyu?” “Ra’yu”, kata Rasul. “Hemat saya bukan mesti sebelah sini pusat komando itu, alasannya ini, ini, ini”. Ternyata sahabat tersebut pakar dalam peperangan. Ternyata oleh Rasulullah diterima, tuntas masalah.

Namun demikian adakalanya orang bertanya bukan ingin tahu, tetapi orang bertanya karena ingin tahu sejauh mana tahunya yang ditanya. Seperti seorang guru bertanya kepada muridnya, kita cenderung bahwa guru itu bukan tidak tahu, tetapi justru ingin tahu sejauh mana tahunya yang ditanya.

Namun adakalanya pula orang bertanya itu adalah istihzaa, hanya untuk memperolok-olok. Ada seorang mahasiswa bertanya “Apakah benar Allah itu maha kuasa, dan apakah Allah akan tetap berkuasa apabila suatu saat Allah tidak kuasa mengangkat batu?” Tentu pertanyaan ini bukan hanya untuk sekedar tahu tetapi ini hanya untuk sekedar memperolok-olokan. Makanya yang ditanya menjawab, “Itulah maha kuasanya Allah bisa menciptakan manusia seperti kamu yang mengajukan pertanyaan seperti itu!”.

“Bagaimana kiranya Allah akan mematikan semua manusia pada waktu yang sama tempat berbeda yang berjauhan?” Tentu pertanyaan itu apakah ingin tahu atau hanya sekedar memperolok-olokan. Dan apa gunanya pertanyaan ini diajukan karena pada asalnya pertanyaan itu diajukan ada keperluannya dengan masalah perbuatan, apakah akan jadi amalan atau tidak? Yang seperti inilah yang sering dilakukan oleh kaum Yahudi dahulu, kepada setiap Nabi begitulah Yahudi.

Makanya jangan heran bila ada tokoh Yahudi pertama kali masuk Islam di Madinah Abdullah bin Salam, waktu itu beliau menyatakan kepada Nabi, “Ya Rasulullah saya bukan memberi tahu tetapi saya ingin mengingatkan “Inna al-yahuuda qaumun buhtun” bahwasanya orang Yahudi itu –bukan perorangan, bukan secara pribadi– tetapi secara bangsa adalah buhtun, orang yang pakar dalam berdusta. Makanya jangan heran apabila pada suatu saat (terlebih zaman sekarang), banyak orang yang kena jebakan dustanya. Yang jadi pertanyaan, apakah pinteran yang tertipu, pinteran yang berdusta, atau bodohnya yang dibohongi itu?

Dalam hal ini sering kita lihat dalam al-Qur’an mereka mengajukan pertanyaan kepada Musa bukan ingin tahu tapi justru ingin keluar dari tuntutan, ketika mereka mengajukan pertanyaan, “Hai Musa! Siapa yang membunuh orang ini?” mereka bertanya bukan ingin tahu tapi mereka hanya memperolok-olokan, “Wah Musa juga tidak akan tahu”. Tetapi kan yang ditanya itu Nabi, makanya jawabannya seimbang. Jawaban dari Allah melalui Musa, “Innallaaha ya-murukum an tadzbahuu baqarah” seolah-olah kan tidak ada kaitannya, yang ditanyakan siapa yang membunuh tapi jawabannya Allah menyuruh menyembelih sapi. Mereka menyatakan, “atattakhidzunaa huzuwan?” apakah engkau memperolok-olokan kepada kami?! Padahal mereka yang memperolok-olokan Musa. Makanya Allah membalas dengan sikap yang sama.

Jelas bahwa Rasulullah ketika pada suatu saat menjelaskan “fa innamaa syifaa al-‘iyyi al-suaalu” ketahuilah penawar ketidaktahuan itu adalah bertanya. Orang bertanya tidak malu dan tidak perlu malu, tetapi sering orang merasa rendah diri untuk bertanya karena sering dianggap tidak tahu padahal kenyataannya tidak tahu. Wajarlah apabila ada ungkapan malu bertanya sesat di jalan, maka tentu bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam kehidupan agama.

Oleh: Agus Salim | ed. 136. th. V, 25 Nov 2016

No comments