SA'AD BIN ABI WAQQASH; Singa yang Menyembunyikan Kukunya (Bagian Akhir)
Beberapa lama Sa’ad hanya mempunyai seorang
puteri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia beroleh lagi beberapa orang putera.
Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering menangis. Jika didengarnya
Rasulullah berpidato dan menasihati ummat, air matanya bercucuran hingga
membasahi haribaannya. la adalah seorang sahabat yang diberi nikmat taufik dan
diterima ibadahnya.
Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang
duduk-duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan
pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang sedang menunggu bisikan atau
kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para sahabat, sabdanya:
"يَطْلُعُ عَلَيْنَا الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ
الجَنَّةِ"..
“Sekarang akan muncul di hadapan kita
seorang lakilaki penduduk surga.“
Para sahabat pun nengok kiri kanan dan ke
setiap arah untuk melihat siapakah kiranya orang berbahagia yang beruntung beroleh
taufik dan karunia itu. Dan tidak lama antaranya muncullah di hadapan mereka
Sa’ad bin Abi Waqqas.
Selang beberapa lama Abdullah bin
Amr bin Ash datang kepadanya meminta jasa baiknya dan mendesak agar
menunjukkan kepadanya jenis ibadat dan amalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah yang menyebabkannya berhak menerima ganjaran tersebut yang telah
diberitakan sehingga menjadi daya tarik untuk mengerjakannya.
Maka
ujar Sa’ad: “Tak lebih dari amal ibadat yang biasa kita kerjakan. Hanya saja
saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara
Kaum Muslimin!”
Nah, itulah dia “singa yang selalu
menyembunyikan kukunya” yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin Auf.
Dan inilah tokoh yang dipilih Umar untuk
memimpin pertempuran Qadisiyah yang dahsyat itu! Kenapa memilihnya untuk
melaksanakan tugas yang paling rumit yang sedang dihadapi Kaum Muslimin, karena
keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mukminin:
-
Ia
adalah orang yang makbul doanya … ; jika ia memohon diberi kemenangan oleh
Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya!
-
la
seorang yang hati-hati dalam makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.
-
Salah
seorang anggota pasukan berkuda di perang Badar, di perang Uhud, pendeknya di
setiap perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah.
-
Dan satu lagi yang tak dapat dilupakan oleh Umar, suatu keistimewaan yang
tak dapat diabaikan harga, nilai dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh
orang yang hendak melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.
Umar tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan
ibunya sewaktu ia Islam dan mengikuti Rasulullah ….Ketika itu segala usaha
ibunya untuk membendung dan menghalangi puteranya dari Agama Allah mengalami
kegagalan. Maka ditempuhnya segala jalan yang tak dapat tidak, pasti akan
melemahkan semangat Sa’ad dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama
berhala dan kepada kaum kerabatnya.
Wanita itu menyatakan akan mogok makan dan
minum sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana
itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah
makanan atau minuman hingga hampir menemui ajalnya.
Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal
tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya: ia tak hendak menjual Agama dan
keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.
Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat,
beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya untuk menyaksikannya kali
yang terakhir dengan harapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibunya
dalam sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang
amat menghancurkan hatinya yang bagaikan dapat menghancurkan baja dan
meluluhkan batu karang.
Tapi keimanannya terhadap Allah dan Rasul
mengatasi baja dan batu karang mana pun juga. Didekatkan wajahnya ke wajah
ibunya dan dikatakannya dengan suara keras agar kedengaran olehnya:
“Demi
Allah, ketahuilah wahai ibunda, seandainya bunda mempunyai seratus nyawa lalu
ia keluar satu per satu, tidaklah anakanda akan meninggalkan Agama ini walau
ditebus dengan apa pun juga! Maka terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan
makan atau tidak!”
Akhirnya ibunya mundur teratur, dan
turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat kepadanya,
sebagai berikut:
وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ....
“Dan seandainya kedua orang tun memaksamu
untuh mempersekutukan Aku, padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya.”
(QS.
Luqman [31]: 15)
Nah, tidakkah ini betul-betul singa yang
menyembunyikan kukunya?
Jika demikian halnya, pantaslah Amirul
Mukminin dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah di tangan
kanannya dan mengirimnya untuk menghalau pasukan Persi yang tidak kuiang jumlahnya
dari seratus ribu prajurit yang terlatih dan diperlengkapi dengan senjata dan
alat pertahanan yang paling ditakuti dunia waktu itu, dipimpin oleh otak-otak
perang yang paling jempol dan ahli-ahli siasatnya yang paling cerdik dan licik!
Memang, kepada tentara musuh yang
menakutkan inilah Sa’ad datang dengan membawa tigapuluh ribu mujahid, tidak
lebih; di tangan masing-masing tergenggam panah dan tombak. Hanya sernata-mata
panah dan tombak. tetapi dalam dada menyala kemauan dari Agama baru yang
membuktikan keimanan, kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut
dan mati syahid.
Dan kedua pasukan itu pun bertemulah. Tetapi belum, mereka belum lagi bertempur. Di
sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan pengarahan dari Amirul Mukminin Umar.
Di bawah ini tertera surat Umar yang memerintahkannya segera berangkat ke
Qadisiyah yang merupakan pintu gerbang memasuki Persi, ditancapkannya dalam
hatinya kalimat berharga yang semuanya merupakan petunjuk dan cahaya:
“Wahai
Sa’ad bin Wuhaib! Janganlah anda terpedaya di hadapan Allah mentang-mentang
dikatakan bahwa anda adalah paman dan sahabat Rasulullah! Sungguh, tak ada
hubungan keluarga antara seseorang dengan Allah kecuali dengan mentaati-Nya!
Semua manusia baik yang mulia maupun yang hina pada pandangan Allah serupa
tidak berbeda. Allah Tuhan mereka, sedang mereka hambaNya. Mereka berlebih berkurang
dalam kesehatan dan akan beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan
ketaatan. Maka perhatikanlah segala sesuatu yang pernah anda lihat pada
Rasulullah semenjak ia diutus sampai meninggalkan kita dan pegang teguhlah,
karena itulah yang harus diikuti!”
Kemudian katanya pula:
“Tulislah
kepadaku segala hal ikhwal tuan-tuan bagaimana kedudukan tuan-tuan, dan di
mana pula posisi musuh terhadap tuan-tuan, terangkan sejelas-jelasnya, hingga
seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan tuan-tuan!”
Sa’ad pun menulis surat kepada Amirul
Mukminin dan menuliskan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya
tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci.
Sa’ad telah sampai di Qadisiyah, sementara
seluruh tentara dan rakyat Persia berhimpun, sesuatu hal yang tak pernah mereka
lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh panglimanya yang ulung
dan paling terkenal, yaitu Rustum.
Sebagai balasan surat dari Sa’ad yang baru
dikirimnya, Amirul Mukminin menulis:
“Sekali-kali
janganlah anda gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Bermohonlah kepada
Allah dan tawakkallah kepada-Nya! Dan kirimlah sebagai utusan, orang-orang
yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah! Dan tulislah surat
kepadaku setiap hari!”
Kembali Sa’ad mengirim surat kepada Amirul
Mukminin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan
pasukan gajah dan berkudanya, dan mulai bergerak menuju Kaum Muslimin. Balasan dari Umar datang
yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad.
Sa’ad bin Abi Waqqas seorang anggota
pasukan berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah dan termasuk
golongan yang mula pertama Islam,
pahlawan dari berbagai perjuangan bersenjata, pancungan dan panahnya yang tak
pernah meleset, sekarang tampil mengepalai tentaranya dalam menghadapi salah
satu peperangan terbesar dalam sejarah, tak ubahnya bagi seorang prajurit biasa! Baik kekuatan maupun kedudukannya
sebagai pemimpin tidak mampu mempengaruhi dan memperdayakan dirinya untuk
mengandalkan pendapatnya semata. Tetapi ia selalu menghubungi Amirul Mulminin
di Madinah yang jaraknya demikian jauh dengan mengirimnya sepucuk surat tiap
hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu
telah hampir berkecamuk.
Sebabnya tidak lain ialah karena
Sa’ad maklum bahwa di Madinah Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata
atau mengambil keputusan seorang diri, tetapi tentulah ia akan bermusyawarah
dengan orang-orang di sekelilingnya dan dengan sahabat-sahabat utama
Rasulullah. Dan bagaimana juga gawatnya suasana perang, Sa’ad tak hendak
kehilangan berkah dan manfaatnya musyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi
tentaranya, apalagi ia tahu benar bahwa di pusat komando itu pimpinannya
langsung dipegang Umar al-Faruk, pembangkit ilham atau inspirasi agung.
Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad.
Dikirimnya serombongan di antara sahabat-sahabatnya sebagai utusan kepada
Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya iman dan Islam kepada Allah.
Soal jawab di antara mereka dengan Panglima
Persi itu berlangsung lama dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi
berbicara karena salah seorang di antara mereka mengatakan:
“Sesungguhnya
Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya
dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari
kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan dari kezaliman pihak penguasa kepada
keadilan Islami. Maka siapa-siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami
terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi
kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan
Allah!” “Apa janji yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. Jawab
pembicara: “Surga bagi kami yang mati syahid dan kemenangan bagi yang masih
hidup!”
Para utusan kembali kepada panglima pasukan
Sa’ad dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain kecuali perang. Dan airmata
Sa’ad berlinang-linang. la berharap seandainya saat pertempuran itu dapat
diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu ia sedang sakit parah
hingga ia sulit untuk bergerak. Bisul-bisul bertonjolan di sekujur tubuhnya
hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung kudanya dan menerjuni
pertempuran yang sengit berkuah darah!
Seandainya saat pecah perang itu terjadi
sebelum ia jatuh ia akan menunjukkan prestasi tinggi. Adapun sekarang ini. Tetapi tidak, Rasulullah telah
mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya” karena kata-kata
itu menunjukkan kelemahan. Sedang orang Mukmin yang
kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah!
Ketika itu bangkitlah “singa yang
menyembunyikan kukunya” itu lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan
pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut ini:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ. وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِيْ الزَّبُوْرِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ
الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُوْنَ.
“Bismillahirrahmanirrahim
Telah Kami cantumkan dalam Zabur setelah
sebelumnya Kami catat dalam Az Zikra (Peringatan) bahwa: Bumi itu diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. al-Anbiya [21]: 105)
Setelah menyampaikan pidatonya
Sa’ad melakukan salat zuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap
kepada mereka ia mengucapkan takbir empat kali: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar,
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar!
Alam pun gemuruh dan bergema
dengan suara takbir dan sambil mengulurkan tangannya kemuka bagai anak panah
yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad berseru kepada anak
buahnya: “Ayohlah maju dengan barkat dari Allah!”
Dengan menabahkan diri menanggung sakit
yang dideritanya, Sa’ad naik ke anjung rumah yang ditinggalinya dan yang
diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil telungkup di atas dadanya yang
dialasi bantal sementara pintu anjung itu terbuka lebar. Sedikit saja serangan dari
orang-orang Persi ke rumah itu akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke
tangan mereka, hidup atau mati Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut.
Bisul-bisul pecah berletusan tetapi ia
tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah
kepada anak buahnya:
“Majulah ke kanan.” dan kepada yang lain:
“Tutup pertahanan sebelah kiri; awas di
depanmu hai Mughirah; ke belakang mereka hai Jarir; pukul hai Nu’man; serbu hai
Asy’ats; hantam hai Qa’qa; majulah semua hai sahabat-sahabat Muhammad”
Suaranya yang berwibawa penuh dengan
kemauan dan semangat baja menyebabkan masing-masing prajurit itu berubah
menjadi kesatuan yang utuh. Maka berjatuhanlah tentara Persi tak ubah bagai
lalat-lalat yang berkaparan, dan rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan
pemujaan api!
Dan setelah melihat tewasnya panglima besar
dan prajurit prajurit pilihan mereka, sisa-sisa musuh tunggang-langgang
melarikan diri. Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke
Nahawand lalu ke Madain. Ibu kota itu mereka masuki untuk merampas kursi
singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi lambang keberhalaan.
Di pertempuran Madain Sa’ad mencapai prestasi
tinggi. Pertempuran ini terjadi
kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara perang
berlangsung secara kecil-kecilan antara Persi dan Kaum Muslimin. Akhirnya semua
sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Madain saja, bersiap-siap untuk
menghadapi pertempuran terakhir dan menentukan.
Sa’ad menyadari bahwa situasi medan dan
musim menguntungkan pihak lawan, karena antara pasukannya dan Madain
terbentang sungai Tigris yang lebar. Alirannya sangat deras karena sedang
banjir meluap-luap.Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan
untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa
mental pasukan musuh sedang menurun.
Nah, di antaranya peristiwa inilah yang
membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagai dilukiskan oleh Abdurrahman bin
Auf, “singa yang menyembunyikan kukunya.” Keimanan sa’ad dan kepekatan hatinya
akan tampak menonjol ketika menghadapi bahaya hingga dapat mengatasi barang
mustahil berkat keberanian yang luar biasa!
Demikianlah Sa’ad mengeluarkan perintah
kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai Tigris, dan disuruhnya
menyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat dijadikan tempat penyeberangan
ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk
menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam.
Sebelum tentara memulai penyeberangan,
panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai
yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada dalam kekuasaan dan pengawasan
musuh.
Ketika itu disiapkannya dua kompi tentara:
Pertama yang dinamakannya “kompi sapu jagat,” sebagai komandannya diangkatnya
Asim bin Amr Dan yang kedua disebutnya “kompi gerak cepat,” sebagai pemimpinnya
diangkatnya Qaqa bin Amr.
Adapun tugas dari kedua kompi ini ialah
menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman menuju pinggir sebelah musuh dan
melindungi induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang. Dan mereka
telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang menakjubkan. Hingga siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai
hasil yang mengagumkan bagi para ahli
sejarah, bahkan bagi diri Sa’ad bin Abi Waqqas sendiri.
Salman al-Farisi, yakni teman dan kawan
seperjuangannya dalam pertempuran itu juga hampir-hampir tak percaya akan hasil
yang telah dicapai. la menepukkan kedua belah tangannya karena takjub dan
bangga, katanya:
“Agama ini masih baru
Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan,
sebagai halnya daratan telah mereka kuasai
Demi
Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan Nya, pastilah mereka akan dapat
keluar dengan selamat daripadanya berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah
memasukinya berbondong bondong!”
Dan benarlah apa yang dikatakannya itu.
Sebagaimana mereka telah terjun ke dalam
sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula mereka keluar dari dalamnya
dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang pula. Tak seorang pun dari
mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun tentara Persi yang mampu
mengunjukkan giginya!
Mangkok tempat minumannya seorang prajurit
jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi satu-satunya orang yang kehilangan
barang waktu penyeberangan itu. Kepada teman-temannya diserukannya agar
menolongnya untuk mendapatkan barang itu kembali. Kebetulan suatu ombak besar
melemparkan mangkok itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut.
Salah satu riwayat tentang sejarah
melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu,
katanya:
“Sa’ad
memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca: Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil —
cukuplah bagi kita Allah, dan Dialah sebaik-baik pemimpin — Lalu dikerahkanlah
kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh orang-orangnya, hingga tak seorang
pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang.
Maka
berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga
dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan
permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan
berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika
berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya
tidak lain karena mereka merasa aman tenteram serta percaya akan ketentuan
Allah dan pertolongan-Nya akan janji dan bantuan-Nya! “
Tatkala Sa’ad diangkat Umar sebagai amir
wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan dan perluasan kota. Kota Kufah
diperbesar dan diumumkanlah hukum Allah serta dilaksanakan di daerah yang luas
dan lebar itu.
Pada suatu hari rakyat Kufah mengadukan
Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul Mukminin. Rupanya mereka sedang
dipengaruhi oleh tabiat yang mudah dihasut, cepat resah, gelisah dan suka memberontak,
hingga mereka mengemukakan tuduhan yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata
mereka: “Sa’ad tidak baik salatnya!”
Mendengar itu Sa’ad hanya tertawa
terbahak-bahak, ujarnya:
"وَاللهِ اِنِّيْ لَأُصَلِّيْ بِهِمْ صَلَاةَ رَسُوْلِ
اللهِ.. أُطِيْلُ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ الأُوْلَيَيْنِ، وَأُقْصِرُ فِيْ
الأُخْرَيَيْنِ".
“Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah
mengerjakan salat bersama mereka sebagai salat Rasulullah, yaitu memanjangkan
dua rakaat yang pertama dan memendekkan dua rakaat yang akhir.”
Sa’ad dipanggil Umar ke Madinah untuk
menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera dipenuhi panggilan itu secepatnya.
Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembalikannya ke Kufah, tapi
sambil tertawa Sa’ad menjawab:
"َأَتَأْمُرُنِيْ أَنْ أَعُوْدَ اِلَى قَوْمٍ يَزْعُمُوْنَ
أَنِّيْ لَا أُحْسِنُ الصَّلَاةَ..؟؟"
“Apakah anda hendak mengembalikan saya
kepada kaum yang menuduh bahwa salat saya tidak baik?”
Demikianlah ia memilih tinggal di Madinah.
Ketika Amirul Mukminin dicederai orang,
dipilihnyalah enam orang di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang akan
mengurus soal pemilihan khalifah baru dengan mengemukakan alasan bahwa keenam
orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridhai
Rasulullah sewaktu beliau hendak berpulang ke rahmatullah. Maka di antara
sahabat yang berenam itu terdapatlah Sa’ad bin Abi Waqqas. Bahkan dari
kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak
memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad.
Sewaktu memberi wasiat dan
mengucapkan selamat perpisahan kepada sahabat-sahabatnya, Umar berkata: “Jika
khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya! Dan
seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai
pendampingnya!”
Sa’ad mencapai usia lanjut, dan tibalah saat
terjadinya fitnah besar, dan Sa’ad tak hendak mencampurinya, bahkan kepada
keluarga dan putera-puteranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita
pun mengenai hal itu kepadanya.
Pada suatu ketika perhatian orang sama-sama
tertuju kepadanya, dan anak saudaranya yang bernama Hasyim bin Utbah bin Abi
Waqqas datang mendapatkannya, seraya berkata: “Paman, di sini telah siap
seratus ribu bilah pedang yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih berhak
mengenai urusan khilafah ini!”
Ujar Sa’ad:
“Dari
seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja ! Jika saya
tebaskan kepada orang Mukmin maka takkan mempan sedikit pun juga. Tetapi bila
saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus batang lehernya … !”
Mendengar jawaban itu anak saudaranya
maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tak hendak
bercampur tangan.
Dan tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke
tangan Muawiyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, ditanyakan kepada
Sa’ad:
“Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak
kami?”
Ujarnya:
“Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka
kataku: Hai saudara, hai
saudaraku! Lalu saya hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali”
Kata
Muawiyah: “Bukankah dalam al-Quran tak ada: ‘Hai saudara, hai saudara!’ Hanya
firman Allah Ta’ala:
وَاِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
اقْتَتَلُوْا، فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا، فَاِنْ بَغَتْ اِحْدَاهُمَا عَلَى
الأُخْرَى، فَقَاتِلُوْا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ اِلَى أَمْرِ اللهِ...
‘Jika di antara orang-orang Mukmin ada dua
golongan yang berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di
antara kedua golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang
berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. . .!’ (Qs
al-Hujurat [49]:9)
Maka
anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di
pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya!”
Sa’ad menjawab sebagai berikut:
"مَا كُنْتُ لَأُقَاتِلُ رَجُلًا قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ:
أَنْتَ مِنِّيْ بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى اِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِيْ".
“Saya
tak hendak memerangi seorang laki-laki — maksudnya Ali — yang mengenai dirinya
Rasulullah pernah berucap: ‘Engkau di sampingku, tak ubahnya seperti
kedudukan Harun di samping Musa, tetapi (engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi
sesudahku!’.”
Suatu hari pada tahun 54 H, yakni ketika
usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun, ia sedang ada di rumahnya di Aqiq sedang
bersiap-siap hendak menemui Allah Ta’ala.
Saatnya yang akhir itu diceritakan
puteranya kepada kita sebagai berikut:
“Kepala
bapakku ada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka
katanya: Kenapa kamu menangis wahai anakku? Sungguh Allah tiada akan
menghukumku, dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga!”
Kekebalan imannya tak tergoyahkan oleh
apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan kengeriannya! Bukankah
Rasulullah telah menyampaikan kabar gembira kepadanya sedang ia percaya penuh
akan kebenaran Rasulullah itu! Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi?
“Sungguh,
Allah tiada akan menyiksaku dan Sungguh aku termasuk penduduk surga.”
Hanya ia hendak menemui Allah dengan
membawa kenang-kenangan yang paling manis dan mengharukan yang telah
menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya. Itulah
sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya yang ketika mereka buka
dan keluarkan isinya ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk.
Disuruhlah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain itu, katanya:
“Telah
kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan
telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini … !“
Memang, kain usang yang telah lapuk itu tak
dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa
berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan
tulus dan beriman serta gagah berani!
Dan sosok tubuh dari salah seorang yang
terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak
orang-orang yang membawanya ke Madinah untuk ditempatkan dengan aman di dekat
sekelompok tokoh-tokoh suci dari para sahabat yang telah mendahuluinya menemui
Allah, dan jasad-jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan
tempatnya di bumi dan tanah Baqi.
Selamat
jalan wahai Sa’ad
Selamat
jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain dan pemadam api pujaan di Persi
untuk selama-lamanya!
______________________________Disusun Oleh: Hanafi Anshary,S.Pd.I
Sumber: Khalid Muhammad Khalid, Rijaal Haul ar-Rasuul (Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah). Bandung: CV. Diponegoro, 1983. Cet ke-2, hlm. 137-155.
No comments