ABU MUSA AL ASY'ARI, SUASANA HATI TIDAK MAMPU MEROBOHKAN HATI
Rasulullah memeberikan gelar kepada
sahabat Hamzah bin Abdul Muthalib “Sayyidu Syuhada” yang termulia di antara
para syahid, dan untuk sahabat Abu Musa Al Asy’ari diberi gelar “Sayyidul
Fawaris” yang termulia di antara pasukan berkuda, maka Abu Musa lah yang paling
terkemuka, yang layak jadi juara.
Walaupun
Abu Musa “Sayyidul Fawaris” di medan laga, ahli perang di atas punggung kuda,
terus menerus hidup di medan jihad, dan sudah biasa bermandikan darah, tapi tidak
menjadikan beliau haus darah, hatinya tetap berperasaan, halus, tindakannya
tidak kasar, dan dalam suasana yang bagaimanapun keruhnya, beliau dapat menjaga
kejernihan hatinya, pertimbangannya sehat, dan tindakannya adil.
Abu
Musa nama lengkapnya ialah Abdullah bin Qais bin Sulaim, nama ibunya Zibyah
Binti Wahab bin A’kka, ia berasal dari Zabid di aman, beliau datang ke Mekkah
dengan saudara-saudaranya kemudian masuk Islam.
Beliau
pernah pulang ke Yaman, dan menetap di sana. Nampaknya beliau tidak henti-hentinya
berdakwah, ternyata waktu pulang membawa ikhwatu iman tidak kurang dari lima
puluh orang. Mereka naik kapal laut, tapi takdir mengubah arah tujuan mereka,
angin mengarahkan kapalnya ke Habasyah, disaat Ja’far bin Abu Thalib dan para
sahabat lain hijrah kesana dan akan pulang. Maka kedua kapal itu, yaitu kapal
Ja’far dan kapal Abu Musa keduanya bersama-sama pergi pulang, mereka menuju
kota Madinah, sebab pada saat itu Rasulullah sudah hijrah ke Madinah.
Jumlah
umat Islam ketika itu di Madinah belum banyak, ternyata setelah shalat Isya
Rasulullah mengatakan, bahwa di seluruh muka bumi ini hanya kalianlah yang
shalat, dan diantara yang bermakmum waktu itu ialah Abu Musa, yang baru pulang
dari Habasyah, waktu itu belum menetap di kampung Baqi’ Buthan (Al-Bukhari).
Rasulullah
tatkala mengabarkan kepada para sahabat beliau, perihal kedatangan Abu Musa,
beliau bersabda:
يُقَدِّمُ
عَلَيْكُمْ أَقْوَامٌ أَرَقَ مِنْكُمْ قُلُوْبًا
“Akan datang kepda
kalian beberapa orang, yang hatinya lebih halus dari pada kalian”
Dengan hati penuh rasa kasih sayang,
dengan hati yang jauh dari sifat zalim dan kejam, Abu Musa masuk pasukan
mujahidin yang terkemuka, yang mendapatkan julukan “Sayyidul Fawaris” juara
pasukan kuda.
Abu Musa mulai turut berperang dengan
Rasulullah dalam peperangan Khaibar, dan keunggulannya mulai naik pada perang
Hunain, yaitu tatkala pamannya yaitu Abu Amir Al-Asy’ari menerima tugas mengejar
tentara musuh yang lari ke daerah Authas, dan di sana sudah berkumpul pihak
lawan dari Hawazin, dan pamannya meninggal dalam pertempuran, maka Abu Musa lah
yang terpilih mengganikannya.
Dengan kepemimpinan Abu Musa, lawan
dapat dihancurkan, setelah didahului dengan dakwah dan tabligh, tapi karena
menolak dan menyerang maka terjadilah pertempuran, dan kemenangan ada di tangan
pasukan Abu Musa.
Abu Musa melaporkan kepada Rasulullah
kemenangannya yang gilang-gemilang kemudia Rasulullah mendoakan pamannya yang
mati syahid dan juga mendoakan Abu Musa dengan do’a beliau:
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ
ذَنْبَهُ وَ أَدْخِلْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مَدْخَلًا كَرِيْمًا
“Ya
Allah, semoga Allah mengampuni dosa Abdullah bin Qais dan memasukannya pada
hari kiamat ke tempat yang mulia”.
Abu Musa salah satu sahabat yang
mendapat kepercayaan yang luar biasa dari Rasulullah, beliau dan Muadz bin
Jabal pernah diutus ke Yaman untuk menyiarkan Islam, dan diangkat sebagai
gubernur di Zabid, Adan, Rima, dan As-Sahil.
Ketika istrinya melahirkan, anaknya
dibawa kepada Rasulullah. Beliau berkenan mengunyah kurma untuk makana bayi
tersebut, menandakan adanya hubungan yang sangat dekat dengan Rasulullah. Abu
Musa menetap di Yaman sebagai gubernur, dan di sana pernah ada nabi plasu yang
mengacaukan masyarakat di sana, yaitu al Aswadi al Ansi, maka dengan usaha Abu
Musa rakyat Yaman dapat dikembalikan kepda keislaman yang hak, dan gerakan nabi
palsu dapat dihancurkan, tapi sayang ketika Abu Musa mengirimkan laporan
kemenangan perjuangannya itu, Rasulullah di Madinah sudah meninggal, beberapa
hari sebelum surat itu sampai.
Khalifah Abu Bakar menetapkan kembali
Abu Musa sebagai gubernur di Yaman, tapi akhirnya beliau meninggalkan
jabatannya, dan turun lagi ke medan pertempuran, beliau turut berperang di
Jazirah, Nasibain, lalu turut pula dalam peperangan di Syam dengan Abu Ubaidah
al Jarrah hingga ia wafat terkenan penyakit thaun. Selanjutnya ketika
masa khalifah Umar bin Khatab ia diangkat menjadi gubernur Basrah menggantikan
al Mughirah bin Syu’bah, tetapi Abu Musa tetap turun ke medan pertempuran, ia
turut dalam peperangan di Tustar, Persia.
Pada suatu ketika, datang kepadanya
utusan yang menyatakan mereka tertarik dengan Islam, dan mau msuk Islam, tapi
dengan syarat yaitu akan perang jika yang diperanginya itu bukan bangsa Arab,
dan bila bangsa arab mengganggu mereka, minta supaya dibela, dan minta supaya
diberi jabatan-jabatan dan diberi gajih yang besar.
Abu Musa menjawab utusan itu: Marilah
kita hidup bersama, sepahit dan semanis (Bal lakum maa lanaa, wama ‘alaikum ma
‘alaina). Hak kami dan kalian kewajiban kami dan kalian, mesti sama ; tapi
mereka tidak sanggup. Lalu beliau mengirim utusan kepada Khalifah Umar, dan
mendapat perintah, supaya usulan mereka dikabulkan, dan ternyata mereka menjadi
bantuan yang besar artinya.
Jabatan Abu Musa tetap jadi gubernur
hingga Umar meninggal, sampai pada masa Khalifah Utsman bin Affan, tetapi tidak
lama setelah itu ia diangkat menjadi gubernur Kufah, dengan pilihan dan
permintaan masyarakat Kufah, hingga Khalifah Utsman bin Affan wafat.
Pada saat kecamuk fitnah yang
menghanguskan keimanan seseorang dan keadaan menjadi sangat genting, umat
saling mencurigai, dan Khalifah Utsman diancam, maka Abu Musa berkhutbah:
La Tanfiru!
Jangan
turut berselisih dalam hal seperti ini! Dan jangan kalian melakukan hal seperti
itu, bangun jamaah kalian dan tetap taat pada pemimpin, awas jangan terbawa
nafsu.
Orang meminta agar Abu Musa menjadi
imam shalat. Abu Musa berkata: “Tidak, kecuali bila kalian janji akan tetap
taat pada Khalifah Utsman”. Setelah itu mereka menyatakan: “As Sam’u wa Tha’atu
li Utsman”, yaitu tetap taat kepada kepemimpinan Utsman, barula beliau mau
menjadi imam.
Abu Musa tetap patuh, tetap taat,
tidak menggoda dirinya perasaan buruk karena dicopot jabatannya di Basrah oleh
Utsaman, hal tersebut tidak jadi bahan untuk memberontak, atau mengambil
kesempatan menangkap ikan di air keruh, tetapi hatinya tetap bersih dan jernih,
sekalipun suasana hatinya sedang buruk.
Setelah Utsman meninggal, beliau tetap
menjadi gubernur di Kufah sampai masa Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan Sayyidul
Faris ahli perang ini menolak tidak mau diajak perang saudara, tidak turut
menjalankan api, atau menambah berkobarnya api fitnah, tapi berusaha untuk
memadamkannya, Abu Musa melaporkan kekacauan di Kufah, akibat dibunuhnya Utsman
dan ia melaporkan umat disana terpecah menjadi dua golongan, ada yang anti dan
ada yang pro.
Khalifah Ali mengirimkan gubernur baru
untuk Kufah, untuk mengantikan Abu Musa, yaitu Umarah bin Syihab, tapi di
tengah perjalanan ke Kufah ia menerima berita bahwa masyarakat Kufah tidak mau
danya pergantian gubernur, mereka ingin agar Abu Musa menjadi gubernur lagi.
Umarah bin Syihab tidak jadi pergi ke
Kufah, dan hal ini diberitahukan kepda Khalifah Ali, dan oleh Khalifah Ali diperkenankan
Abu Musa tetap seperti yang diharapkan oleh orang-orang Kufah.
Tapi akhirnya Abu Musa dibebaskan oleh
Khalifah Ali, kareena Abu Musa tetap tidak mau turut perang saudara, beliau
menganjurkan supaya pedang disimpan, perselisihan diputuskan. Walaupun sudah
dibebaskan tetap beliau ada dipihak yang benar, beliaulah yang terpilih menjadi
utusan Ali ketika ada peristiwa perundingan tahkim, dengan pihak Muawiyyah.
Hasil perundingannya, bukan
menjatuhkan Khalifah, tapi menyerahkan urusan itu kepada para sahabat yang
ketika Rasulullah meninggal, mereka diridhoi oleh beliau, tapi yang tersiar
berlainan dengan apa yang diputuskan, yaitu memecat Ali dan mengangkat
Muawiyyah sebagai khalifah, maka bertambah besar dan berkobar api fitnah sebab
dihembuskan oleh musuh-musuh Islam yang menunggangi keadaan buruk itu.
Setelah kekuasaan ada di tangan
Muawiyyah, beliau ditawari jabatan, tapi ditolaknya, beliau menerima surat dari
Muawiyyah yang ditulis dengan tangannya sendiri, dan minta dijawab dengan
tulisan Abu Musa sendiri, ketika itu Abu Musa menjawab surat itu dengan
singkat:
“Amma ba’du, saudara telah menulis
kepada saya dalam urusan Muhammad yang berat sekali, saya tidak ingin terhadap
apa yang saudara tawarkan itu”.
Abu Musa tetap berpendirian jujur,
berkepala dingin, dan tindakannya tidak tergesa-gesa sesuai dengan hadis yang
beliau terima dari Rasulullah:
Satakunu fitnatun, alqaidu fiha
khairun minal qaimi, wal qoimu khairun minal masyi, wal masyi khairun minar
rakhili.
“Akan
datang beberapa fitnah, pada saat itu yang duduk lebih baik dari yang berdiri, dan
yang berdiri lebih bai dari pada yang berjalan, dan yang berjalan lebih
baikdari apda yang berkendaraan”.
Sekalipun beliau itu dibebaskan dari
jabatannya oleh Khalifah Ali, tetapi taat kepada pemimpin dan tidak ada
tindakan pembalasan, tetap hatinya bersih, hubungan baik terpelihara, turut
dalam hal-hal yang dianggap tidak melanggar, sesuai dengan kemampuannya.
Fitnah seperi dipandangnya “Shomma”,
tuli. Sulit untuk mendengar nasehat dan tidak mungkin dapat menerima saran yang
baik, sebab bertentangan dengan nafsu, yang sudah hangus terbakar fitnah.
Abu Musa meriwayatkan 360 hadis dari
Rasulullah, dan beliau sangat berhati-hati, di antara ucapannya:
مَنْ عَلَّمَهُ العِلْمَ فَلْيُعَلِّمْهُ وَ لَا
يَقُوْلَنَّ مَا لَيْسَ لَهُ بِهِ عِلْمٌ فَيَكُوْنُ مِنَ المُتَكَلِفِيْنَ
“Barangsiapa
yang Allah ajarkan kepadanya suatu ilmu, maka hendaklah ia mengajarkannya. Dan
janganlah mengatakan yang tidak tahu ia dalilnya, akibatnya ia menjadi orang
yang tidak wajar, dan keluar dari agama (agama tidak berkesan).
Rasulullah sangat tertarik dengan
irama atau suara Abu Musa, ia sering diminta agar membacakan al-Qur’an oleh
Rasulullah. Rasulullah bersabda: “Abu Musa itu telah dianugerahi seruling Daud”
Apabila Rasulullah melihat Abu Musa,
beliau selalu memintanya untuk membaca al-Qur’an dengan kalimat:
ذَكِّرْنَا يّا اّبَامُوْسَى
“Wahai Abu Musa, gugahkanlah hati
kami”.
Lalu
Abu Musa membaca al-Qur’an.
Dan
adakalanya Rasulullah bersabda:
شَوِّقْنَا اِلَى رَبِّنَا
“Wahai
Abu Musa, bacakanlah al-Qur’an agar kami rindu kepada Tuhan kami”.
Pada suatu ketika, Abu Musa sedang
membacakan al-Qur’an, dan Rasulullah sedang asyik mendengarkannya, lalu ada
salah seorang sahabat yang berkata: Shalat!
Rasulullah bersabda:
Awwalasna fi sholatin
“Bukankah
kita sekarang sedang shalat (dzikir)!”
Abu
Musa badannya ringan dan lincah, tidak tinggi. Ketika di penghujung hayatnya ia
meminta supaya orang-orang jangan menangis, dan berwasiat agar diurus
jenazahnya sesuai dengan ketentuan agama, ia pun melarang adanya ritual-ritual
selain itu. Ia meninggal di Kufah tahun ke 42 atau 44 dari hijrah, dalam usia
63 tahun. Ia dilahirkan 21 tahun sebelum hijrah, dan ia dimakamkan di
Syawiyyah, Kufah.
Penulis: Rexy Abdullah
No comments