SA'AD BIN ABI WAQQASH; Singa yang Menyembunyikan Kukunya (Bagian I)
Oleh: Hanafi Anshary, S.Pd.I
Berita yang datang secara
beruntun menyatakan serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata
Persia terhadap Kaum Muslimin
amat menggelisahkan hati Amirul Mukminin Umar bin Khatthab. Disusul kemudian dengan
berita tentang pertempuran Jembatan, di mana empat ribu orang pihak Kaum
Muslimin gugur sebagai syuhada dalam waktu sehari, begitu pun
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Irak terhadap
perjanjian-perjanjian yang mereka perbuat, serta ikrar yang telah mereka akui,
menyebabkan khalifah mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri
tentara Islam dalam perjuangan bersenjata yang menentukan melawan Persi.
Bersama beberapa orang
sahabat dan dengan menunggang kendaraan, berangkatlah ia dengan meninggalkan
Ali di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi belum berapa jauh dari kota, sebagian
anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan memilih salah
seorang di antara para sahabat untuk melakukan tugas tersebut.
Usul ini diprakarsai oleh
Abdurrahman bin Auf yang menyatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mukminin
dengan cara seperti ini, sementara agama sedang menghadapi hari-harinya yang
menentukan adalah perbuatan yang keliru.
Umar pun menyuruh Kaum
Muslimin berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah “Assalata jami’ah.“
Sementara Ali yang datang bersama beberapa orang penduduk Madinah berangkat
menuju tempat perhentian Amirul Mukminin. Akhirnya tercapailah persetujuan
sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin Auf, dan peserta
musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan memilih seorang
panglima lain yang akan memimpin peperangan menghadapi Persi.
Amirul Mukminin tunduk
pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada para sahabat, siapa kiranya orang
yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka sama tertegun dan berfikir. Tiba-tiba
berserulah Abdurrahman bin Auf: “Saya telah menemukannya!” “Siapa dia?” tanya
Umar.
Ujar Abdurrahman: “Singa
yang menyembunyikan kukunya, yaitu Saad bin Malik az-Zuhri!”
Pendapat ini disokong
sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mukminin meminta datang Sa’ad bin
Malik az-Zuhri yang tiada lain Sa’ad bin Abi Waqqas. Lalu diangkatnya sebagai
Amir atau gubernur militer di Irak yang bertugas mengatur pemerintahan dan
sebagai panglima tentara.
Nah, siapakah dia singa
yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah dia yang bila datang kepada
Rasulullah ketika berada di antara sahabat-sahabatnya, akan disambutnya dengan
ucapan selamat datang sambil bergurau, ucapannya: “Ini dia pamanku … ! Siapa
orang yang punya paman seperti pamanku ini?”
Itulah dia Sa’ad bin Abi
Waqqas! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah
ibunda dari Rasulullah.
Sa’ad Islam selagi berusia
17 tahun dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para sahabat. Hal
ini pernah diceritakannya sendiri, katanya: “Pada suatu saat saya beroleh
kesempatan termasuk tiga orang pertama yang menjadi Muslim.” Maksudnya bahwa ia
adalah salah seorang di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam.
Maka pada hari-hari pertama
Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang Agama baru yang
dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah al-Arqam untuk tempat pertemuan
dengan sahabat-sahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abi Waqqas telah
mengulurkan tangan kanannya untuk bai’at kepada Rasulullah.
Sementara itu buku-buku
tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk salah seorang
yang Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyatakan
keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan
oleh Abu Bakar, yaitu Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf
dan Thalhah bin Ubaidillah. Dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih
dulu Islam secara sembunyi-sembunyi.
Banyak sekali keistimewaan
yang dimiliki oleh Sa’ad ini yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi
di antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi dendang dan
senandungnya. Pertama: bahwa dialah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam
membela Agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan
kedua: bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah
dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah di waktu perang
Uhud:
“Panahlah
hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu!”
Memang! Kedua nikmat besar
ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada Allah, katanya: “Demi
Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah!”
Dan berkata pula Ali bin
Abi Thalib: “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya
sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad. Saya dengar beliau berucap waktu
Perang Uhud:
إِرْمِ
سَعْدُ .... فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ.
“Panahlah hai Sa’ad! Ibu bapakku
menjadi jaminan bagimu!”
Sa’ad termasuk seorang
kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. la mempunyai dua macam
senjata yang amat ampuh: panahnya dan doanya. Jika ia memanah musuh dalam
peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya, dan jika ia menyampaikan
suatu permohonan kepada Allah, pastilah
dikabulkan-Nya! Menurut Sa’ad sendiri dan juga para sahabatnya, hal itu
adalah disebabkan doa Rasulullah juga bagi pribadinya. Pada suatu hari ketika
Rasulullah menyaksikan dari Sa’ad sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di
hati beliau, diajukannyalah doa yang makbul ini:
أَللّهُمَّ سَدِّدْ
رَمْيَتَهُ وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ.
“Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan
kabulkanlah doanya … !.”
Demikianlah, ia terkenal di
kalangan saudara-saudara dan handai tolannya bahwa doanya tak ubah bagai pedang
yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri hingga ia tak
hendak berdoa bagi kerugian seseorang kecuali dengan menyerahkan urusannya
kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh Amir
bin Sa’ad:
“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki Ali, Thalhah
dan Zubair. Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak menurut, maka katanya:
‘Walau begitu saya doakan kamu kepada Allah.’ Ujar laki-laki itu: ‘Rupanya kamu
hendak menakut-nakuti aku seolah-olah kamu seorang Nabi.’ Maka Sa’ad pun pergi
wudhu dan salat dua rakaat. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya: ‘Ya
Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang
telah beroleh kebaikan dari-Mu dan tindakan mereka itu mengundang amarah
murka-Mu. Maka mohon dijadikan hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran!’
Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah muncul seekor
unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak
seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki tadi dan dibawanya
ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan-bulanan injakan dan
sepakannya hingga akhirnya tewas menemui ajalnya!“
Kenyataan ini pertama kali
mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan keikhlasannya yang mendalam.
Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras membaja
serta keikhlasannya dalam dan tidak bernoda. Dan untuk menopang ketakwaannya ia
selalu memakan yang halal dan menolak dengan keras setiap dirham yang
mengandung syubhat.
Dalam kehidupan akhirnya
Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia
meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta banyak dan
harta halal jarang sekali dapat terhimpun, maka di tangan Sa’ad hal itu telah
terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus.
Di samping itu ia dapat
dijadikan seorang teladan pula dalam soal membersihkan harta. Dan kemampuannya
dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal diimbangi — bahkan
mungkin diatasi — oleh kesanggupan menafkahkannya di jalan Allah.
Ketika Hajji Wada, Sa’ad
ikut bersama Rasulullah. Kebetulan ia jatuh sakit, maka Rasulullah datang
menengoknya.
"يَا
رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّيْ ذُوْ مَالٍ وَلَا يَرِثُنِيْ اِلَّا ابْنَةً،
أَفَأَتَصَدَّقَ بِثُلُثَيْ مَالِيْ..؟ قَالَ النَّبِيُّ: لَا. قُلْتُ: فَبِنَصْفِهِ؟
قَالَ النَّبِيُّ: لَا. قُلْتُ: فَبِثُلُثِهِ..؟ قَالَ النَّبِيُّ: نَعَمْ، وَالثُّلُثُ
كَثِيْرٌ.. اِنَّكَ اِنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءً، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ
عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ، وَاِنَّكَ لَنْ تُنْفِقْ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِهَا
وَجْهَ اللهِ اِلَّا أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَضَعُهَا فِيْ فَمِ امْرَأَتِكَ".
Tanya Sa’ad: “Wahai
Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja.
Bolehkah saya sadedakahkan dua pertiga hartaku?” “Tidak.” jawab Nabi. “Kalau
begitu separohnya?” tanya Sa’ad pula. “Jangan.” ujar Nabi. “Jadi,
sepertiganya?” “Benar” ujar Nabi “dan sepertiga itu pun sudah banyak,
lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada
membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang lain.
Dan setiap nafkah yang anda keluarkan dengan mengharap keridhaan Allah pastilah
akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan yang anda taruh di mulut
isteri anda!.”
Bersambung..
No comments