HOMO HOMINI SOCIUS
Oleh: Iqbal Amar Muzaki
Homo homini Socius adalah ungkapan yang pertama kali
dicetuskan oleh Nicolaus Driyarkara; yang berarti Manusia adalah kawan bagi
sesamanya. Ungkapan tersebut sekaligus membantah ungkapan Plautus dalam
karyanya Asinaria yang mengatakan
bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain; atau dikenal dengan
istilah Homo Homini Lupus.
Istilah Homo Homini Socius mencerminkan bahwa
manusia adalah makhluk sosial; makhluk yang membutuhkan sesama yang lain. Yang
tidak bisa hidup sendiri. Artinya; secara otomatis manusia dengan sendirinya
akan berusaha hidup secara bergerombol; berkelompok atau bersekutu dengan
sesama yang lain terlepas dari motif berkumpulnya. Bisa dikatakan bahwa
berkumpul; berorganisasi, adalah sebuah keniscayaan; tidak akan bisa dihalangi
kapanpun dan oleh siapapun.
Keinginan
berkumpul biasanya dilatarbelakangi karena adanya kesamaan pandangan. Kesamaan
pandangan tersebut yang kemudian diejawantahkan dalam sebuah wadah; bisa berupa
organisasi, geng, kumpulan dan lain sebagainya. Islam; yang notabene ajarannya
sesuai dengan naluri manusia pun memberikan indikasi bahwa berkumpul
(berjama’ah) adalah sebuah keharusan. Kalau kita telisik ayat-ayat dalam
Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan perintah, larangan, dan seruan; banyak
menggunakan istilah jamak (Plural)
ketimbang Mufrod (single). Misalnya;
..Iyyaaka Na’budu wa iyyaaka nasta’iin,
(hanya kepadamulah kami beribadah;dan hanya kepadamulah kami meminta
pertolongan); kemudian .yaa
Ayyuhalladziina aamanuu; kutiba ‘alaikum dan sebagainya. Sejatinya
penggunaan bentuk jamak tersebut memberikan semangat kepada umat dalam
membangun kebersamaan dan memupuk jiwa kebersamaan dalam membangun. “Membangun
kebersaman” artinya; menjauhkan manusia dari sifat egois, chauvinis (merasa diri lebih hebat), dan individualis (merasa bisa hidup sendiri). Sementara; memupuk jiwa
“kebersamaan dalam membangun” artinya memupuk semangat bersama dalam membangun
visi dan tujuan.
Di dalam
Islam; berjama’ah bukan hanya sebatas thabi’ah
dan Gharizah; tapi juga merupakan
bagian dari ajaran. Ajaran yang bernilai ibadah bagi siapa yang
melaksanakannya. Sholat saja bernilai pahala lebih banyak jika dikerjakan
bersama; urusan zakat pun diperintah melalui pengelolaan kolektif, apalagi dalam
peperangan. Oleh karenanya dengan tegas Allah menyatakan...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah
bershaf seperti bangunan yang kokoh (QS As-Shaf; (61) : 4).
Maka dalam
rangka memenuhi hasrat berserikat; manusia kemudian membentuk organisasi (Jam’iyyah); yang mewadahi orang-orang
yang memiliki pandangan yang sama. Munculnya gerakan keagamaan semisal Ikhwanul Muslimin, Hizbu Tahrir, Nahdathul
Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Mathlaul Anwar
dsb, kemudian berserikatnya negara-negara multilateral semisal Rabithah alam wa al islami, OKI (organisasi Konferensi Islam), Thadaum al-Islami; yang semuanya
berpusat di Saudi Arabia, Ihya’ul
al-Turats di Kuwait; juga Dar al-Birr
dan AMCF di Emirat Arab, ASEAN (Association of South East Asian Nations),
AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Coorperation), International
Monetary Fund (IMF). Itu
semua dalam rangka mengelola berbagai kepentingan yang hanya bisa dilaksanakan
dengan berjam’ah (Kolektif).
Oleh karenanya; terlalu naif jika kemudian ada orang yang menganggap
berkelompok, berorganisasi, berserikat merupakan sesuatu yang diharamkan;
dengan dalih banyak menimbulkan kemadharatan; maka Rasulullah sendiri
menegaskan ”Orang mukmin yang bergaul
bersama manusia dan bersabar atas gangguannya lebih utama dari pada orang
mukmin yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguannya.
(HR.Bukhori)
Wallahu A’lam Bishiwab
No comments