ads header

Postingan Terbaru

DIALEKTIKA RUMUSAN PENDIDIKAN




Oleh: Jaringan Alumni SMA Plus Muallimien (JASMUSIM) Rajapolah
Tasikmalaya, 20 Agustus 2017
Sistem sivitas akademika dari suatu lembaga pendidikan di sebuah bangsa harus berakar dari karakter asli masyarakat. Baik tujuan pendidikannya, konsep pengajarannya, maupun bentuk pengelolaannya. Sehingga pendidikan dalam bentuk klasik, modern, atau serapan dari luar, sepatutnya tetap mengadaptasi kultur asli bangsa pribumi supaya tidak kehilangan kekhassan dan corak kepribadiannya.
Menyoal pendidikan, sangat difahami senantiasa berada dalam garis perbincangan serius di semua negara, termasuk Indonesia satu diantaranya. Kementrian pendidikan Indonesia sebagai corong yang membidani sistem pendidikan nasional, dari masa ke masa terus berinovasi demi menemukan rumusan sistem terbaik bagi penyelenggaraan pendidikan Indonesia di semua jenjang usia.
Demikian itu yang melatari beberapa allumni SMA Plus Muallimin Persatuan Islam 182 Rajapolah berdialektika mengenai pendidikan secara serius pada hari sabtu (19/8) di aula Pimpinan Daerah Persatuan Islam (PD Persis) Kab. Tasikmalaya.
Ikatan allumni yang tergabung dalam JASMUSIM (Jaringan Allumni SMA Plus Muallimin) ini menamai diskusinya dengan istilah Silatul ‘ilmi (Mempertemukan gagasan; ilmu).
Dalam perbincangannya, JASMUSIM mengetengahkan beberapa indeks pokok yang berkaitan dengan pendidikan. Diantara perwakilan yang hadir dalam diskusi tersebut ialah Andri Nurkamal, Teuku Galih Permata Pratama, Rijal Rijananda, Kholid Syahyudin, Nurul Hikmah dan Mia. Kesemuanya merupakan para pimpinan JASMUSIM.
Mula-mula mereka melendingkan pembahasan dengan menyamakan frekuensi arti dari definisi pendidikan.
Setelah mempertemukan berbagai teori dari pakar pendidikan, mereka menyepakati bahwa pendidikan merupakan proses seseorang untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya untuk mengenali pribadinya, apa dan siapa, darimana dan mau kemana, kemudian juga bisa mengenali alam sekitar serta Tuhannya sehingga lahirlah manusia yang ideal (insan kaamil).
Rijal Jirananda selaku Divisi Pendidikan Jasmusim memaparkan, diketengahkannya Pendidikan Propethic yang dicetuskan  Kuntowijoyo sebagai pemantik dan pembendaharaan diskusi. Diimbuhkannya bahwa Manusia terdiri dari ruh, jasad dan akal, sehingga pendidikian yang diberikan-pun harus meliputi ke-tiga aspek tersebut.
Dan berasaskan Qur’an Surat Ali Imran ayat 110, Pendidikan Propethic menitik poinkan objeknya pada 3 pilar : amar ma’ruf (Humanisasi) sebagai proses memanusaiakan manusia, nahi munkar (liberasi) mengandung makna pembebasan dan tu’minuuna billah (transendensi) sebagai dimensi keimanan. Maka menurutnya, sangatlah tepat jika Pendidikan Propethic diterapkan dalam pola pendidikan saat ini karena Pendidikan Propethic meliputi 3 aspek entitas manusia. 
Selanjutnya, Nurul Hikmah menyempurnakan dengan  kalimat Rasulullah saw. yang disampaikan oleh Ali ra. yang berbunyi, “addibaani rabbi fa ahsana ta’dibi” (aku dididik oleh Tuhanku maka pendidikanku adalah sebaik-baik pendidikan).
Nurul menilik kalimat tersebut  untuk mencari titik temu antara pendidikan formal di Indonesia dengan periodisasi kerasulan Muhammad saw. untuk membangun budaya pendidikan yang sesungguhnya dibutuhkan oleh manusia sebagai makhluk. Namun, apakah  pendidikan bagi masyarakat Indonesia sudah disesuaikan dengan mengacu pada Kurikulum yang disebut sebagai Kurikulum Rasulullah,  hal itu  masih harus dikaji secara mendalam. Sebab pendidikan Rasulullah Saw. Secara continu tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Maka pendidikan pada pengertian ini bukan sekedar formalitas aplikasinya melainkan harus dibangun budaya belajarnya.
Jika pendidikan dalam Islam harus menyentuh wilayah transeden maka dalam kesempatan tersebut, Andri Nurkamal selaku ketua JASMUSIM mencoba melakukan studi komparatif dengan membuka soal pendidikan dalam Agama lain sehingga muncul istilah Ilmuwan dan Agamawan yang lahir dari kisah traumatic sebagai konsekuensi dari pernyataan  Galileo Galilei yang bertentangan dengan dewan gereja mengenai Heliosentric dan Geosentric, sehingga memisahkan agama dari urusan-urusan keduniaan (Sekuler) dan melahirkan kenetralan dalam menjalankan agama (Plural).
Sehingga sekularisme dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, dengan melihat kronologi sejarah itu, jelas sangat tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia yang keyakinan pribuminya mayoritas Islam.
Maka dari itu, sangatlah tepat jika pendidikan Indonesia mengacu pada pendidikan Islam (lihat Q.S. Al-Alaq: 1-5), baik itu asas, sistem maupun tujuannya untuk mencapai manusia ideal yang terbangun ruhani, jasmani dan intelektualnya di atas nilai wahyu ilahi. Oleh karenanya, pendidikan dalam Islam berorientasi kepada bagaimana menciptakan manusia seutuhnya yang sehat jasmaninya, bersih rohaninya dan kapabel intelektualnya.
Kholid Sahyudin menambahkan bahwa sekuler dan plural tidak tepat diterapkan di Indonesia yang notabene beragama Islam karena hal tersebut merupakan bencana aqidah.
Dari Qur’an Surat Ali-Imran ayat 100-110 yang dibedahnya, ditelurkan beberapa poin sebagai kesatuan konsep yang  utuh untuk menjadi manusia ideal, yakni:
(1) Menyentuh kesadaran keimana, (2) aspek kesejarahan untuk mengenali musuh Islam, (3) memahami relevansi antara hal realistis dan ghaib, (4) sebab dan akibat yang berbeda bagi orang beriman dan kafir, (5) mengajak untuk berfikir secara ilmiah, dan (6) menegemen pendidikan yang melahirkan pribadi taqwa.
Disampaikan oleh Teuku Galih selaku Wakil ketua Jasmusim bahwa taqwa berasal dari kalimat waqa-yaqi, yang berarti menjaga dan menutupi seseorang dari penderitaan atau rasa sakit. Para ahli tafsir mendefinisikan taqwa sebagai rasa takut kepada Allah yang akan melahirkan segala perbuatan sesuai dengan kehendak-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Dengan taqwa manusia bisa menghindarkan dirinya dari kepedihan dan merasakan nikmatnya kehidupan dunia dan akhirat.
Pada ahirnya diskusi yang memakan waktu 3 jam itu menyepakati suatu pola pendidikan Islam yang diberlakukan di Pesantren, baik itu bahan ajar dan konten pengajarannya, supaya dipertahankan karena selain pesantren sebagai bentuk pendidikan murni pribumi, adalah fakta bahwa produk pesantren telah mengantarkan Indonesia pada pintunya kemerdekaan. Hanya saja, penyelenggaraan pendidikan Pesantren juga harus dikolaborasikan dengan sistem operasional dan tatanan administrasinya secara modern. Dengan kedua paduan yang bernilai pengajaran entitas tersebut, pendidikan Indonesia ke depan akan menjadi rumusan sistem terbaik untuk menjawab tantangan SDM bangsa kita yang dari masa ke masa semakin mengalami kemarau panjang. Semakin sulit memanen para SDM jebolan sivitas akdemika yang dibutuhkan bangsa. Dan tentu saja, kebutuhan bangsa yang akar kesejatiannya menelurkan kader di atas nilai dasar ilahiyah yaitu memegang teguh ketuhanan yang maha esa (Islam) yang darinya memunculkan sikap hidup yang menjiwai 4 poin lainnya Pancasila.
Maka bukan hanya merawat dan menyempurnakan beberapa perangkat tertentu pesantren, sesungguhnya semua elemen bangsa Indonesia perlu memberikan konsentrasi khusus terhadap pesantren demi menjaga nilai sejarah dan menemukan arah bangsa ke depan yang khas dan mapan. [Andri]

No comments