ads header

Postingan Terbaru

ZAKAT TIJARAH Bag. 2


Perbedaan Antara Barang Milik Pribadi Dan Komoditas Dagang
Yang dimaksud dengan barang milik pribadi ialah semua barang yang digunakan untuk pribadi, bukan untuk diperdagangkan (dalam istilah akuntansi dinamakan aset tetap). Yaitu yang dibeli oleh seorang pedagang atau pengusaha dengan niat untuk ditahan sebagai alat produksi, seperti mesin, bangunan, mobil, peralatan, areal tanah, perabotan, gudang, rak pajang, meja, perlengkapan kantor, dan lain-lain yang tidak untuk diperjualbelikan. Seluruh benda-benda itu merupakan aset yang tidak wajib dizakati dan tidak termasuk harta zakat (Lihat, Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat : 336).
Sedangkan komoditas dagang adalah barang-barang yang sengaja dipersiapkan untuk diperjualbelikan (dalam istilah akuntansi dinamakan aset berkembang). Yaitu segala sesuatu yang dibeli oleh seorang pedagang atau pengusaha dengan niat untuk diperdagangkan. Seperti barang dagangan, alat-alat, mobil, tanah, pulsa, kuota internet, perangkat lunak dan keras komputer (software, hardware), dan lain-lain. Semua komoditas itu harus dizakati bila telah memenuhi syarat wajibnya.

Syarat Wajib Zakat Komoditas Dagang
Syarat wajib zakat komoditas dagang yaitu amal (jual-beli) dan niat (untuk mendapatkan keuntungan). Agar niat dapat dianggap sah harus dikukuhkan ketika pertama kali membeli suatu komoditas. Seandainya seseorang membeli sebuah mobil dengan niat untuk pemakaian pribadi tetapi akan dijual juga bila mendatangkan keuntungan, maka mobil itu tidak termasuk komoditas dagang yang wajib dizakati. Berbeda dengan seandainya ia membeli beberapa unit mobil dengan niat diperdagangkan dan untuk mencari laba, lalu salah satunya dipakai sendiri, maka mobil tersebut tetap sebagai komoditas dagang yang wajib dizakati, karena yang dijadikan tolak ukur adalah niat pertama ketika membeli.
Dengan demikian segala barang yang diniatkan untuk dimanfaatkan sendiri, tidak dianggap sebagai komoditas dagang hanya karena ingin dijual jika mendatangkan laba. Sebaliknya, segala barang yang diniatkan untuk diniagakan tidak akan berubah menjadi barang milik pribadi hanya karena digunakan untuk pemakaian sendiri sewaktu-waktu (Lihat, Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat : 327-328).
Namun bila seorang telah membeli suatu barang dengan niat untuk diperdagangkan kemudian sebelum dijual ia merubah niat dan memanfaatkannya buat kepentingan pribadi, maka niat itu telah cukup untuk merubah status barang di atas dari komoditas dagang menjadi barang milik pribadi sehingga tidak wajib dizakati. Begitu juga sebaliknya, jika ia membeli sebuah barang untuk dipakai sendiri kemudian berubah niat untuk diniagakan, maka barang itu wajib dizakati.

Nishab dan Haul dari Zakat Komoditas Dagang
Mengeluarkan zakat dari komoditas dagang tidak terikat dengan ketentuan nishab (besaran modal atau keuntungan minimal) dan haul (batas waktu jatuh tempo pertahun). Mengeluarkan zakatnya tidak harus menunggu seberapa besar aset atau genap setahun. Lebih cepat lebih baik serta lebih selamat, karena yang demikian itu akan lebih terpelihara dari tercampur dengan harta lain, terpakai, dan bahkan terlupakan. Karena jika telah tampak adanya zakat yang wajib dikeluarkan lalu oleh muzakki ditahan terlebih dahulu, maka ia menjadikan dirinya penjaga harta zakat yang harus amanah dengan tanggung jawab sendiri. Padahal tidak ada yang mengangkat dirinya menjadi amil. Oleh karena itulah ketika telah jelas zakat yang harus dikeluarkan, tidak ada hak muzakki menahannya. Maka segera mungkin melepas tanggung jawab yang seharusnya dilepaskan dengan menitipkannya ke jami’ zakat (‘amilin). Hal ini berdasarkan pengalaman yang terjadi pada Ibnu Amr berikut:
Dari Ibnu Amr bin Hammas sesungguhnya bapaknya mengatakan, “Aku lewat kepada Umar bin Khatab, sedang pada pundaku kulit-kulit yang aku pikul. Umar bertanya, ‘Sudahkah engkau keluarkan zakatnya wahai Hammas? Aku menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini, beberapa kulit mentah yang sedang disamak’ Maka Umar berkata, ‘Itulah barang dagangan, letakanlah!’ Lalu aku meletakan dihadapannya, lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambil zakat (perdagangan) padanya.’” (HR. asy-Syafi’i, al-Umm, II : 49)

Persentase Zakat 2,5% Dihitung dari Modal
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud dengan zakat tijarah adalah zakat yang berkaitan dengan komoditas dagang; Yaitu semua barang yang disediakan untuk didagangkan, sekalipun barang tersebut disediakan tanpa memakai modal uang. Maka besaran 2,5% yang diambil dari zakat tijarah itu adalah dihitung dari nilai atau harga modal belanja barang yang telah berhasil terjual.
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari yang kami siapkan untuk diperdagangkan.” (HR. Abu Daud, Sunan Abu Daud, II : 95).
Lihatlah siapa saja yang lewat kepadamu dari kalangan muslimin, ambillah apa-apa yang nampak pada mereka dari harta perdagangan, dari setiap empat puluh (40) dinar 1 (satu) dinar, dan apa-apa yang kurang darinya, maka dengan perhitungannya. (HR. Malik, Muwaththa al-Imam Malik, I : 255, Musnad asy-Syafi’i : 97).

Tidak Ada Wajib Zakat dari Harta Fi Sabilillah
Rasulullah SAW pernah mengutus petugas penarik zakat, Umar bin Khathab. Salah seorang tidak membayar zakat, yaitu Khalid bin Walid. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah, maka beliau bersabda:
Adapun Khalid, maka sesungguhnya kamu (Umar) hendak menganiayanya, sungguh ia telah menahan (mewakafkan) baju-baju besi dan alat-alat perangnya di jalan Allah. (Shahih al-Bukhari, II : 122; Shahih Muslim, II : 676).

Dari teguran Rasulullah kepada Umar di atas menunjukkan bahwa setiap harta wakaf yang ditahan untuk keperluan umum atau fi sabilillah, seperti masjid, sekolah, pesantren, peralatan perang, dan semisalnya tidak terkena wajib zakat. Dan setiap apa yang disediakan di jalan-jalan kebaikan, termasuk dalam bentuk unit usaha dengan modal dari harta infaq atau shadaqah, maka hukumnya sama seperti wakaf, tidak ada kewajiban zakat padanya. (Lihat: Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, IX : 46-47).

Penulis: Agus Salim

No comments