ads header

Postingan Terbaru

HUKUM UANG MUKA JIKA TRANSAKSI BATAL

Ustadz Ginanjar Nugraha
Perkembangan dinamika sains berpengaruh kepada dinamika masyarakat, termasuk didalamnya pola-pola interaksi masyarakat. Jual beli atau perniagaan merupakan aktivitas manusia dinamis sejak zaman dahulu sekarang. Hal tak bias dihindari sebagai konsekuensi perubahan masyarakat yang begitu cepat adalah munculnya persoalan-persoalan baru tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para ulama Islam untuk merespon problem kontemporer tersebut ditinjau dari ajaran Islam.
Salah satunya fenomena masyarakat adanya transaksi jual beli dengan cara pembeli memberikan uang muka sebagai tanda jadi. Kemudian terjadi pembatalan transaksi oleh pihak pembeli, maka uang muka tersebut menjadi hangus. Persoalan muncul, jika terjadi pembatalan oleh salah satu pihak, terkait dengan status kepemilikan, akad perpindahan serta konteks ganti kerugian (madharat). Disamping itu para ulama berbeda pendapat terkait hukum uang muka tersebut jika terjadi pembatalan, sehingga dibutuhkan kepastan hukum masalah tersebut. Karena itu Dewan Hisbah Persatuan Islam merespon masalah tersebut dengan mengangkat tema sidang “Hukum Uang Muka Jika Batal Jual Beli” dengan menugaskan Prof Maman Abdurrahman, MA. Sebagai pemakalah sekaligus pembahas.
Dalam penjelasanya Prof Maman memulai dengan penjelsan istilah uang muka yang dalam literatur fiqh disebut dengan urbun. Uang muka atau urbun dalam kitab maushu’ah fiqh, menurut istilah fiqh adalah seorang pembeli membeli sesuatu, dan menyerahkan kepada penjual satu dirham atau lebih, apabila ia mengambil barang dagangan tersebut dari penjual, maka ia (pembeli) akan menyempurnakan pembayarannya, dan apabila pembeli tidak jadi mengambil (barang dagangan) tersebut maka uang yang telah diberikan pembeli kepada penjual akan menjadi milik penjual.
Dalam pemaparannya, pemakalah menerangkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama salaf maupun khalaf, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga fatwa internasional, semisal Majma’ Fiqih, maupun nasional seperti Lajnah Daimah dan MUI. Secara umum para ulama salaf cenderung mengharamkan sedangkan para ulama kontemporer cenderung membolehkan. Kemudian pembahasan sidangpun pun beralih kepada pengujian kedua argumentasi baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan.
Adapun dali-dalil yang terkait dengan pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Larangan jual beli denga cara batil dan wajibnya saling ridha
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ ...
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu....(QS. An-Nisa : 29)
2. Larangan mengandung unsur riba
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. * Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). (QS. Al-Baqarah : 278-279)
3. Jual beli sebagai sarana kebaikan dan larangan tolong menolong dalam permusuhan dan dosa
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah :2)
4. Kesepakatan antara dua belah pihak
Dari Ibnu Umar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda: "Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, maka salah satu dari keduanya berhak untuk khiyar (memilih), selagi keduanya belum berpisah dan keduanya masih berkumpul, atau salah satunya mengajukan khiyar (pilihan) kepada yang lain. Jika salah satunya telah menetapkan khiyar (pilihannya) atas yang lain, maka transaksi harus dilaksanakan sesuai dengan khiyarnya. Dan jika keduanya telah berpisah setelah melakukan transaksi jual beli, sedangkan sedangkan salah satu dari keduanya tidak membatalkan jual beli, maka transaksi telah sah." (Muttafaq Alaih, lafal Muslim, Shahih Muslim, II/10)
5. Larangan menipu
Rasulullah Saw bersabda Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim, Sahih Muslim, 1/69)
6. Larangan spekulasi
Rasulullah saw. melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II/4)
Dari dalil-dalil diatas dapat difaham bahwa muamalah khususnya jual beli asalnya boleh selama saling ridha, tidak ada unsur tipuan, bukan barang yang haram, tidak saling menzalimi, tidak spekulasif, tidak ada unsur riba, tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya, jelas perpindahan akadnya.  Adapun terkait dengan pendekatan kaidah yang digunakan dalam masalah uang muka ini, pertama, asal dalam muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan. Kedua, kaidah perdamaian antar muslim itu boleh, selama tidak mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal. Ketiga, kaidah kaum muslimin itu terikat syarat-syarat mereka, selama tidak menghalalkan yang haram atau menghalalkan yang haram. Keempat, kaidah larangan madharat dan memadharatkan.
Dalam pembahasan persidangan ditemukan dalil-dalil yang melarang maupun membolehkan uang muka, namun keduanya tidak terlepas dari kedhaifan sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu pembahsan terkait uang muka kembali kepada kaidah umum terkait muamalah yaitu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan atau unsur yang dilarang dalam jual beli Islam. Adapun terkait dengan hangusnya uang muka, jika masuk dalam kesepakatan dengan keridhaan keduanya, tanpa saling merugikan masing-masing pihak, maka hukumnya boleh. Dengan demikian Dewan Hisbah mengistinbat
1. Uang muka dalam jual beli hukumnya mubah
2. Jika terjadi pembatalan transaksi oleh pembeli, lalu uang muka menjadi hak milik penjual atas kesepakatan bersama dengan tidak saling merugikan, hukumnya mubah.

Penulis: Ginanjar Nugraha

No comments