ads header

Postingan Terbaru

"MAKA CELAKALAH BAGI ORANG YANG SHALAT!"



LIMA TINGKATAN SHALAT
Shalat merupakan ibadah yang tidak boleh tidak dilakasanakan. Bagaimanapun kondisi saat ini, jika waktu shalat telah tiba, maka kita wajib menjalankannya.  Berbeda dengan shaum, jika tidak mampu, ya tidak apa-apa tidak menjalankannya. Yang pasti, jika alasannya sakit atau safar, kita wajib menggantinya (qadha) di hari-hari yang lain selain Ramadhan; jika alasannya tidak mampu, maka fidyah adalah penggantinya. Sekali lagi, shalat merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan dalam apapun keadaan. Sehat-sakit, kaya-miskin, muqim-safar, aman-genting; shalat mesti dilaksanakan.
Ini semua adalah demi manusia muslim itu sendiri. Semua yang dilakukan seorang hamba akan kembali lagi kepada hamba. Termasuk bab shalat. Jika benar, itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Jika salah, itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
Dalam pelaksanaannya, kualitas shalat berbeda-beda antara satu hamba dengan hamba lain. Karena kualitasnya berbeda-beda, maka dalam hal pahalanya pun akan berbeda pula. Ada yang 27 derajat sesuai hadits Rasulullah tentang keutamaan shalat berjamaah, bahkan ada yang nihil pahala seperti yang dijelaskan dalam surat al-Ma’un ayat 4.

Tingkatan Kualitas Shalat
Dalam al-Wabilush-Shayib minal Kalamith-Thayib, Ibnul Qayyim aj-Jauziyah mengklasifikasi orang yang shalat kedalam lima kelas. Kelima kelas tersebut antara lain:

1. Mu’aqqab
Mu’aqab artinya disiksa. Kenapa kok yang menjalankan shalat disiksa? Dalam al-Quran terdapat informasi muhkamat (yang cukup) jelas bahwa kecelakaan bagi orang yang suka shalat, yaitu yang lalai dan riya (lihat Q.S. al-Ma’un [107]: 4-6!).
Kriteria mushalli yang mu’aqqab yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim adalah orang yang mengabaikan aturan-aturan seputar shalat dari mulai waktu shalat, wudlu, sampai rukun-rukun shalat. Shalatnya hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban (formalitas). Orang seperti ini cenderung malas menjalankan ibadah shalat.

2. Muhasab
Muhasab berarti dihisab. Maksudnya adalah shalatnya diperhitungkan oleh Allah. Orang ini mampu menjaga waktu shalat, wudlu, syarat-syarat dan rukun-rukun shalat, tetapi masih terbatas pada aspek lahiriahnya saja. Sedangkan aspek ruhiyah (kekhusyuan, nilai, atsar [efek]) kurang diperhatikan sehingga ketika shalat dijalankan, pikirannya dipenuhi oleh lamunan-lamunan tak berarti.

3. Mukaffar ‘Anhu
Tingkatan ketiga dalam kualitas shalat menurut Ibnul Qayyim adalah mukaffar ‘anhu yang artinya diampuni (dihapus) dosa dan kesalahan. Yang menempati tingkatan ini adalah mereka yang mampu menjaga shalat dan segala ruang lingkupnya, kemudian ia bersungguh-sungguh untuk  melawan intervensi setan. Ia berusaha menghalau lamunan dan pikiran yang terlintas.
4. Mutsabun
Tingkatan mutsabun atau yang diberi pahala memiliki ciri-ciri seperti tingkatan Mukaffar ‘Anhu. Lebihnya adalah ia benar-benar iqamah (mendirikan shalat). Ia hanyut dan tenggelam dalam shalat dan penghambaan kepada Allah SWT.

5. Muqarrab min Rabbihi
Yang terakhir adalah tingkatan yang paling hebat. Mereka yang menempati tingkatan ini adalah orang yang ketika shalat, hatinya langsung tertuju kepada Allah. Ia benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga ia merasa melihat Allah (ihsan). Tingkatan ini adalah Muqarrab min Rabbihi (dekat dengan Allah).
Orang yang berada di tingkatan ini bukan hanya menadapat pahala dan ampunan tetapi ia pun dekat dengan Allah karena shalat ia jadikan sebagai penyejuk mata dan penentram jiwa.
Jika kita bermuhasabah, berada di tingkatan yang manakah kualitas shalat kita? Minimal, semoga kita termasuk kelompok Mukaffar ‘Anhu. Maksimal, ya menempati tingkatan Muqarrab min Rabbihi. Maka, mari kita berusaha terus menjaga shalat kita di setiap waktu. Ingat, shalat itu merupakan rukun Islam yang kedua. Jika lalai dari shalat, berarti kita telah menggugurkan rukun islam yang kedua ini.

Menjaga Shalat
Shalat itu tiang agama. Jika shalat ditinggalkan, maka kita meruntuhkan bangunan agama. Oleh karena itu, Allah menekankan agar kaum muslimin menjaga setiap shalat sebagaimana firman-Nya:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah pula) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan qanit!” (QS al-Baqarah [2]: 238).
Yang dimaksud Shalat Wustha pada ayat tersebut adalah shalat yang waktunya di tengah-tengah dan shalat yang paling utama. Ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan shalat wustha ialah shalat Ashar. Menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Adapun Qanit maksudnya penuh ketaatan. Mematuhi seluruh aturan dalam shalat. Selain itu, qanit juga bisa dimaknai dengan menjaga nilai shalat di luar shalat. Misalnya nilai kedisiplinan, nilai loyalitas (ketaatan) kepada imam (pemimpin), nilai manajemen waktu, nilai kebersihan, nilai kesabaran, dll..
Dengan menjaga shalat baik shalat itu sendiri sebagai syariat atau pun shalat sebagai nilai kehidupan, maka kita akan mendapatkan reward dari Allah SWT baik tokcer di dunia maupun di-pending nanti di akhirat. Selain itu, shalat yang terjaga merupakan sumber kebahagiaan hidup. Artinya, jika kita mau bahagia, shalat adalah solusi. Ini pasti!
       Untuk memperkuat, perhatikan hadits Rasulullah berikut:
حُبِّبَ إِلَيَّ النَِسَاءُ وَ الطَّيِّبُ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِى الصَّلاَةِ
 “Dijadikan aku condong mencintai istri dan hal-hal baik. Dan, dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR Thabrani, shahih dengan syarat Muslim).
Lalu, shalat yang bagaimana yang menjadi penyejuk mata atau kebahagiaan seseorang? Tentunya shalat yang terjada baik secara shurah (gerakan dan bacaan), ruh (kekhusyuan) maupun atsar (implikasi nilai).
       Wallāhu a’lam

Oleh: Yusuf Awaludin

No comments