LIHATLAH KEBAWAH..!
Mereka Lebih Berat
Hidupnya
Tubuh boleh
cacat, tapi Dori tetap menyempurnakan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.
Selada air yang terhampar di lereng gunung Slamet menjadi sumber rupiah bagi
Dori. Bila selada air sedang tak laku dijual, Dori dan keluarga terpaksa makan
ganyong demi mengganjal perut yang lapar.
“Tuhan itu adil. Saya punya uang sedikit
untuk kasih makan anak. Sampai akherat yang ditanyain soal anak. Tapi kalau
banyak harta, yang ditanyain hartanya. Alhamdulillah, Tuhan menitipkan anak, ya
saya rawat. Kalau saya nanti meninggal, anak yang mendoakan” Demikian tandas
Dori.
Ada pula kisah Mak Epat yang tak pernah
lelah menanti anak-anak tercintanya untuk pulang. Di ujung usianya, Mak Epat tak
pernah berhenti berdoa agar bisa dipertemukan kembali dengan anak-anaknya yang
hilang empat tahun silam. Membuat serta menjajakan kue bugis dan jalabria
menjadi sumber penghidupan Mak Epat. Penghasilan sepuluh hingga lima belas ribu
dari menjual kue, nyatanya tak cukup juga untuk membayar hutang yang tak
kunjung selesai.
Identik dengna Mak Epat,, Daryani
mengalami hal serupa. Sang suami tak pernah ada kabar sejak meninggalkannya bersama
Rizki. Sungai Sikampuh menjadi saksi perjuangan Daryani mengais rezeki demi
menyambung hidup. Uang lima ribu rupiah baru akan ia terima bila sudah mendapat
seember kima (kerang). Rizki sang anak pun tak mau tinggal diam melihat sang
ibu bekerja sendirian. Meski Rizki memiliki kekurangan, tak menghalangi niatnya
untuk berbakti kepada sang ibu.
Lain halnya dengan Suni. Sejak sang ayah
sakit, Suni menopang segala kebutuhan hidup keluarga. Musim penghujan menjadi
berkah tersendiri bagi Suni. Kondisi sawah yang penuh air dimanfaatkan Suni
untuk mencari belut. Tiga ribu rupiah dari menjual belut setidaknya bisa
digunakan untuk membeli beras setengah kilogram.
Begitu juga dengan Omah. Demi menyambung
hidup, peluang rezeki apapun akan Omah ambil, termasuk menjadi penjual sendok
bekas. Meski uang tak selalu ia dapat setiap harinya, setidaknya ada yang bisa
ia harapkan dari sendok-sendok bekas yang berhasil ia kumpulkan. Dua ribu lima
ratus rupiah baru akan ia dapat bila telah terjual satu lusin sendok bekas.
Usia yang tak lagi muda tak memungkinan bagi Omah untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik dari yang ia jalani sekarang.
Bersyukurlah!
Lima kisah
pilu tersebut yang ditayangkan salah satu tv swasta dalam programnya “Orang
Pinggiran” sudah cukup menjadi sampel bahwa masih ada orang lain yang lebih
sengsara. Ini sewajarnya menjadi bahan syukuran kita kepada Allah. Ternyata,
kesusahan hidup yang dialami tidak seberapa jika dibanding dengan kesusahan
mereka.
Oleh karena itu, Rasululan saw. memberi
nasehat:
أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا
تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ
اَللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Perhatikanlan orang yang lebih bawah darimu dan janganlah memerhatikan
orang yang lebih atas darimu” (HR Muttafaqun ‘Alaih).
Memerhatikan dan memikirkan kehidupan
orang yang ada di atas kita, bisa saja membuat kita tidak bersyukur atas apa
yang saat ini kita miliki. Akibatnya, hati dipenuhi iri, pikiran tidak nyaman,
dan dada terasa sesak. Jika hal tersebut sudah menjangkit, fisik pun akan mulai
sakit (psikomatis: penyakit fisik yang diakibatkan oleh pikiran dan perasaan).
Logis jika Rasulullah saw. menasehati
sebagaimana hadits tadi. Melihat dan memerhatikan orang yang lebih rendah dari
kita, katakanlah lebih fakir, berpotesi untuk mendorong diri kita bersyukur
dengan keadaan diri saat ini. Meskipun penghasilan tak seberapa, meskipun rumah
reot, meskipun pendidikan hanya tamatan SD, meskipun nganggur,
meskipun makan dengan garam dan ikan asin; toh masih bisa menghirup
udara bebas, masih bisa berjalan kaki, masih bisa melihat alam yang indah,
masih bisa beribadah kepada Allah SWT. Sementara itu mereka lebih berat beban
hidunya dibanding kita. Demikian kiranya kalimat yang akan muncul dari hati
akibat syukur yang disebabkan memerhatikan orang yang lebih susah dan sengsara.
Iri pun Harus
Tetapi,
untuk masalah-masalah ibadah, amal saleh, dan kebaikan-kebaikan lainnya, kita
mesti merasa iri. Iri dalam hal ini justru dibolehkan oleh Rasulullah saw..
Namun iri di sini dimaksdukan agar di-follow up-i dengan amal semisalnya,
minimal ada niat ingin beramal seperti itu.
Si Fulan adalah donatur bagi kemajuan
dakwah Quran-Sunnah. Hartanya ia distribusikan untuk pembangunan masjid,
madrasah, dan fasilitas ibadah lainnya. Lalu terbersit di benak Si Fulan yang
lain, “Saya iri dengan bapak Fulan. Ia bisa berjuangan dengan hartanya. Ingin
kiranya saya seperti dia.”. Hal ini adalah iri yang boleh.
Atau ada seseorang yang giat ke
pengajian, giat tahajud, giat dhuha, dan giat dalam amal-amal saleh lainnya.
Kemudian, seseorang yang lain bergumam, “Saya iri dengan Si Anu. Ia bisa giat
beribadah. Sementara waktu saya habis di pasar dan di toko. Ke pengajian pun
jarang bahkan tidak pernah. Berjamaah shalat pun kerap telat.”. Iri ini pun iri
yang boleh.
Namun, setelah iri tersebut segera di-follow
up-i alias ditindaklanjuti dengan niat dan amal nyata. Niat itu akan Allah
catat sebagai sebuah kebaikan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ
لَهُ حَسَنَةً وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا إِلَى سَبْعِ
مِائَةِ ضِعْفٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ وَإِنْ
عَمِلَهَا كُتِبَت
“Siapa yang bercita-cita (niat) melakukan sebuah kebaikan tetapi belum
sempat mengamalkannya, dicatat baginya sebuah kebaikan. Siapa yang bercita-cita
melakukan kebaikan kemudian ia mengamalkannya, dicatat baginya 10 sampai 700
kali lipat. Siapa yang bercita-cita melakukan keburukan tetapi ia tidak melakukannya,
tidak dicatat sebagai sebuah keburukan. Tetapi, jika ia mengamalkannya, maka
dicatat sebagai sebuah keburukan.”. (HR Bukhari dan Muslim, dengan lafad Muslim).
Kembali ke permasalah di awal bahwa
dalam hidup ini keadaan orang berbeda-beda, dalam urusan dunia dan akhirat.
Perbedaan dalam urusan dunia, dalam hal ini ekonomi, tidal boleh menjadi
penyebab iri. Justru kita mesti bersyukur kepada Allah karena ternyata masih
banyak saudara kita yang jauh lebih susah dan sengsara.
Namun, perbedaan dalam urusan akhirat,
dalam hal ini amal saleh atau ibadah, harusnya menjadi pemacu dan pemicu agar
kita lebih giat beribadah kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan berlomba
dalam kebaikan sebagaimana firman Allah, “Fastabiqul khairat. Berlombalah
dalam kebaikan-kebaikan!”.
Oleh: Yusuf Awaludin
No comments