ads header

Postingan Terbaru

MENCARI MODEL PEMIMPIN IDEAL

Sejak dua tahun silam Indonesia disibukan dengan momentum pemilu, memilih atau menentukan pemimpin Negara. Pilkada serentak adalah sistem baru yang dirumuskan pemerintah untuk menunjang keberlangsungan pemilihan. yang dalam rencana, sistem baru ini akan digelar 2019 mendatang. Dani syafrudin nawawi dalam hal ini mengaskan, Indonesia sudah saatnya menggunakan sistem terbuka dan terbatas.  Pergantian model pemilihan sejatinya, sejak pertama sampai saat ini tidak ada satupun yang berbenturan dengan konstitusi, ini hanya tentang mekanisme pemilu.

Indonesia, dengan umur yang sudah cukup dewasa sejak 1945 sampai 2016 harusnya sudah mampu menghantarkan pemilih dalam pemilu pada kebijaksanaan untuk menentukan pilihannya, sosok pemimpin yang ideal. Ideal disini , bukan semata menurut personal melainkan komunal. Masyarakat seharunya tidak lagi disibukan dengan model pemilihan, sudah semestinya berbicara tentang studi kelayakan yang pada posisi ini tidak semata meniti faktor kedekatan, keluarga atau hanya karena calon sudah memberikan fasilitas hidup bagi pemilih.

2017 adalah tahun dimana masyarakat kota Tasikmalaya diperjumpakan kembali dengan momentum penting dalam menunjang keberlangsungan hidup warga Kota Tasikmalaya. Pemilihan kepala daerah atau walikota. Tercatat dalam KPU ada tiga nama calon. Yang ketiganya sama, tidak ada yang tidak baik.

Sosok seorang pemimpin tentu sangat dibutuhkan. Masyarakat jangan lagi dikerangkeng pikiranya pada politik yang tidak etik. etik disini dalam upaya pemilihan, apakah mengedepankan rasionalitas atau syar’i. yang pada kebanyakan pendapat mengatakan bahwa, rakyat itu mencerminkan pemimpin, bentuk penilaian baik dan buruk  pemimpin bisa kita tilai dari sejauh mana rakyatnya memberlangsungkan kehidupan. Maka dalam hal ini harus ada penunjang kaifyat dalam pemilihan.  Kalau mengedapankan rasionaltias, tentu pada posisi ini personal berhak mentafsikan dengan bebas, lain hal apabila disandarkan pada konsep syariat agama.

Ada beberapa prinsip kepemimpinan dalam Islam yang diulas Abu Hasan al Mawardi dalam kitab Ahkamus Sultaniyah. Ideal seorang pemimpin harus memilki kriteria sebagai berikut:
1. Bersifat adil
2. Berpengetahuan
3. Memiliki kemampanan mendengar
3. Memiliki kearifan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum.
4. Memiliki fisik yang sehat
5. Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasan islam dan untuk memperthankannya dari serangan musuh
6. Tidak mengkooptasi (mengkotakan) kecintaan.

Model kepemimpinan diatas tidak hanya berlaku untuk ummat Islam semata melainkan seluruh umat manusia, filosofis kepemimpinan dalam islam menderivasikan sebuah pedoman yang semestinya harus diadaptasikan oleh setiap manusia yang kelak jadi pemimpin Negara. Diantaranya :
1. Hikmah, ajaklah manusia kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bijaksana (QS. Al-Nahl: 125)
2.  Qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasehat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. Al-Ahzab :21)
3. Diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikanya dengan diskusi atau bertukar pikiran (QS. Al-Nahl: 125)
4.  Musawarah, adalah suatu bentuk perlibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dan keikitsertaan dalam pengambilan keputusan atau kebijaksanaan (QS. Al-Nisa: 58, QS Al-Maidah: 8)
5.  Kelembutan hati dan saling mendoakan
6.  Sinergis membangun keberasamaan

           Demikianlah sosok pemimpin yang ideal. Kalau pun tidak ditemukan, maka dalam istilah kaidah ushul fiqih, “man’la yudraku quluh wala yud’raku quluh”, kalau tidak ada semuanya, maka carilah yang mendekati kriteria ideal. Mulai sejak dini kesadaran tentang pentingnya memilih pemimpin yang kelak akan menentukan berlangsungnya hajat ummat dan bangsa harus menjadi prioritas, jangan lagi ada peristiwa golput yang tentu hal ini akan merugikan diri dan masyarakat berdemokrasi.


          “Tasikmalaya dengan idiom kota santri, semoga terus berkesinamungan” jangan sampai hilang, sebab hal tersebut bagian dari identitas Tasikmalaya sejak zaman pendeklarasian.

Oleh: Nanang Indrawan | edisi: 147, 10 Pebruari 2017
Editor: Fathu Robbani

No comments