Dilema Indonesia, Antara AS dan Cina
Pemerintahan
Donald Trump bersumpah akan mencegah Cina mengambil alih perairan internasional
di Laut Cina Selatan. Sumpah Trump ini tak disukai Cina. Juru Bicara Gedung
Putih Sean Spicer memberikan tanda-tanda Amerika Serikat akan berhati-hati
dalam menghadapi Cina yang agresif ingin menguasai Laut Cina Selatan.
"Amerika akan melindungi kepentingan kami di sana," kata Spicer,
Senin, (23/1). (republika.co.id 24/1/2017)
Dikutip
dari sindonews.com (22/1/2017), bahwa media milik Partai Komunis China
mengatakan Beijing akan kembali menggelar latihan militer. Media itu
menambahkan bahwa latihan dilakukan di laut lepas seperti yang dilakukan
baru-baru ini. Awal bulan ini, Taiwan mengerahkan jet-jet tempur dan kapal
angkatan lautnya setelah kapal induk China Liaoning melewati selat yang
memisahkan keduanya. China menganggap Taiwan bagian dari negaranya. China
khawatir ketika calon sekretaris negara pilihan Presiden Amerika Serikat (AS)
Donald Trump, Rex Tillerson mengatakan, Beijing harus dilarang mengakses
pulau-pulau yang dibangunnya di Laut China Selatan yang disengketakan.
Dalam
laporannya, The People's Daily menyatakan tidak ada provokasi serta tekanan
dari pihak luar yang dapat menghentikan latihan militer tersebut. Mereka
menulis tidak ada "bom kata-kata", seperti pernyataan Tillerson
tentang Laut China Selatan, yang bisa menghentikan latihan militer China.
"Provokasi,
tekanan, fantasi dan sesuatu yang dilebih-lebihkan tidak akan mencegah latihan
normal militer China," tulis surat kabar itu seperti dikutip dari Reuters,
Minggu (22/1/2017).
Indonesia
Hitung Mundur! Mulai dari Sekarang…
Hubungan
AS dan China dalam beberapa pekan terakhir ini menegang. Yang patut disorot
adalah sama seperti AS, Cina memiliki karakter ekspansionis, telah melakukan
pergerakan-pergerakan. Keinginan Cina menguasai Laut Cina Selatan telah
dicanangkan sejak jauh-jauh hari. Saat ini Trump, berupaya mengisolir Cina
kembali dari para tetangganya dan menampakkan Cina sebagai negara musuh. Korsel
dan Jepang termasuk loyalis AS, bersiaga melakukan konfrontasi politik, bahkan
bisa jadi militer.
AS
memandang Cina sebagai ancaman memaksa pemerintah AS untuk terus mengisolasi
Cina. AS meningkatkan kerjasama keamanan dengan Jepang dan mendukung seruan
Jepang untuk mengembangkan nuklir, yang berarti meninggalkan sikap Jepang
tentang kebijakan defensif yang telah berlangsung selama ini.
Membaca
situasi politik saat ini, kebijakan AS terhadap Cina terlihat kontradiktif.
Faksi Kanan AS, yang dipimpin kaum korporasi melihat Cina dari aspek komersial
karena populasi Cina yang besar merupakan pasar yang menjanjikan keuntungan,
sehingga ia melobi pemerintah AS untuk menarik Cina ke dalam pasar bebas global
dan memaksa Cina untuk membuka pasar domestiknya. Faksi Kiri AS, yang sejak
dulu memandang Cina sebagai ancaman, selalu menghantam Cina dengan isu hak
asasi manusia, sensor internet, dan perseteruan Cina dengan Taiwan. Dari segi
komersial, perusahaan seperti Google, Yahoo, Microsoft, dan industri perbankan
AS meraup keuntungan dari hubungan komersial AS dan Cina.
Secara
politis, konflik Laut Cina Selatan (LCS) memungkinkan mengubah sikap politik
luar negeri pemerintah Indonesia. Pernyataan Cina bahwa ada masalah overlapping
claim atas LCS dipastikan mengubah sikap politik luar negeri Indonesia. Selama
ini Indonesia bersikap non-allignment atas sengketa di Laut Cina Selatan dan
mengatakan sengketa itu harus ditempuh melalui jalur internasional dengan jalan
damai.
Banyak
negara berebut pengaruh di LCS, selain letaknya yang strategis sebagai jalur
perdagangan dunia akan menghasilkan keuntungan bagi negara yang menguasainya,
juga kandungan kekayaan sumber daya hayati dan mineral yang terkandung di
dalamnya juga menjadi pemicu sengketa. Jika Indonesia lemah dalam berbagai
sisi, ia cuma dijadikan buffer zone (penyangga) bagi negara-negara imperialis
kapitalis. Terpisahnya Timor Timor, Sipadan dan Ligitan adalah bukti nyata
kelemahan pusat dalam mengelola frontier. Kedua, selain dikelilingi oleh 13
pangkalan militer Amerika (AS), negeri ini juga diputari oleh Five Power
Defence Arrangement (FPDA) yang meliputi Inggris, Australia, Malaysia dan
Singapore, selain ada pula ANZUS (Amerika, New Zealand dan Australia) dan lainnya.
Dalam
konteks situasi ASEAN terhadap LCS, tampaknya Cina bermanuver agar tidak
tercipta suara bulat dalam
keputusan-keputusan yang diambil ASEAN terkait berbagai isu. Cina memang ingin
agar ASEAN tidak berhasil mencapai suara bulat. Cina nampaknya lebih senang
menjalin hubungan bilateral dengan masing-masing negara ASEAN daripada hubungan
Cina-ASEAN. Cina lebih cenderung menerapkan pendekatan bilateral. Dominasi
proyek infrastruktur oleh Tiongkok yang dimasukkan dan dijalankan melalui rezim
Jokowi itu akan membuat cengkeraman asing Timur menancap di negeri ini.
Cengkeraman oleh Timur itu melengkapi cengkeraman oleh Barat yang sudah lebih
dulu menancap kuat dan terus diperdalam.
Kita
juga perlu mencermati langkah-langkah penting Cina di Indonesia tentang
Kebijakan Reklamasi di pantai-pantai di Indonesia, misalnya, atau skema
investasi asing bermodel Turnkey Project Management,d imana semuanya, baik
budget, materiil, top manager hingga tenaga kasar, diboyong dari Cina. Kita
dapat melihat bahwa One Belt One Road (OBOR)-nya Xi Jinping yang
menyasar/melintas Indonesia merupakan implementasi teori Ratzel di atas.
Intinya, Xi mencari ruang hidup baru bagi warga negaranya akibat "ledakan
penduduk" di Cina daratan.
Hal
ini bisa dipahami, dalam perspektif pemikiran geopolitik bahwa manusia butuh
negara, dan negara butuh ruang hidup (living space atau lebensraum), maka
tatkala muncul klaim sepihak terhadap perairan Natuna dan perairan beberapa
negara lain di Laut Cina Selatan oleh Negeri Tirai Bambu dengan mengabaikan UNCLOS
1982 misalnya, niscaya dalam rangka memperluas ruang hidup terutama pengamanan
rute dan jalur distribusi energinya. ‘Energy security’ atau membelah
(Terusan/Kanal) Kra Thailand, membangun Terusan Nikaragua, dan lain-lain.
Itulah inti teori geopolitik yang melandasi OBOR-nya Xi Jinping mengurai dan
memperluas living space, atau lebensraum (ruang hidup).
Setelah
gagal menerapkan sistem ekonomi terpimpin ala Soviet, Cina di masa Deng Xiao
Ping menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada
Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan.
Hasilnya Cina merubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas
bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari
ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia.
Terhadap
Islam, Cina sama paronoidnya dengan AS, Islam ideologis dianggap ancaman atas
kepentingan-kepentingan strategis negara kapitalis seperti halnya Cina. Tentu
tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi bulan-bulanan neoliberalisme
dan neoimperialisme baik dari asing barat maupun asing timur.
Cina
saat ini menghadapi berbagai masalah kompleks yang butuh solusi, dan tanpa
ideologi yang jelas maka Cina tidak akan menyelesaikan masalahnya secara
konsisten pula. Tanpa ideologi, Cina akan terus didikte isu sebagai akibat
tidak terselesaikannya isu yang lain. Khilafahlah yang akan membebaskan
Indonesia dan kaum Muslim dari kontrol Amerika, Cina dan kebrutalan mereka
serta kerusakan dan perusakan mereka terhadap negeri dan penduduknya.
Source: voa-islam.com
No comments