ads header

Postingan Terbaru

PESAN UMAR KEPADA PARA PEMUDA[1]




Menuduh, mencela, menyalahkan dan mengkritik orang, sangat mudah, tapi membuktikan kesalahan orang dan menunjukan mana yang benar tidak mudah, tidak jarang di pengadilan, tertuduh dibebaskan dari segala tuduhan disebabkan tidak dapat dibuktikan kesalahannya.
        Mengkritik dan menyatakan perbedaan faham atau pendapat di kalangan pemuda sangat kuat, dan ruh seperti itu akan membawa perubahan dan perbaikan, bila kritik itu hasil dari penelitian dan penyelidikan yang adil dan ikhlas serta dipikirkan bagaimana jalan keluarnya, ditunjukan jalan yang benar atau yang lebih kuat, sebab membuang pakaian yang usang, sebelum sedia gantinya akan hidup tanpa pakaian.
        Pemuda yang tidak punya semangat untuk mengadakan perbaikan, ia bukan pemuda yang berjiwa pemuda, ia hanya mencela dan mengkritik lalu bersikap “angkat bahu” dan berkata: “itu bukan urusan kami”.
        Orang tua yang tidak memberi kesempatan bagi pemuda untuk menyiapkan dirinya sebagai pelanjut dan penyambung garis di masa yang akan datang yang lebih baik, masyarakatnya akan menemukan nasib  seperti kakek-kakek yang kekurangan darah, lemah dan sering pusing.
        Khalifah Umar bin Khatab, menganggap bahwa pemuda itu manusia yang sempurna, bukan rongsokan manusia, yang sudah lama dipakai dan banyak yang rusak, pemuda berjiwa besar, dadanya tidak sempit, tabah dan kuat menghadapi kenyataan-kenyataan yang sangat pahit sekalipun, berani bertindak dan bertanggung jawab, sikapnya tegas, bebas menyatakan hakikat dirinya, tidak kaku mengetengahkan pendepat sekalipun berbeda dengan umum, tapi kata Sayyidina Umar, para pemuda wajib menghindar dari “A’tsaratu ‘sySyabab”, yakni disebabkan pengaruh takabur dan kesombongan, mengina orang lain terutama kepada orang tua yang sering dituduh “kolot”, bila ada sesuatu yang tidak sejalan dan sependapat, padahal kebenaran itu tidak kolot dan tidak muda.
        Pada musim haji ada seorang pemuda yang bernama Qubaisah bin Jabir bersama temannya ia menunaikan haji, disaat mereka ihram, mengerjakan ibadah haji terlihat oleh mereka seekor keledai liar. Tanpa pikir panjang, keledai itu dilempar oleh kawannya dengan batu, kebetulan tepat sasaran, keledai itu rubuh berlumuran darah, lalu diambil sebagai binatang buruan, sedangkan orang yang ihram dalam ibadah haji tidak dihalalkan berburu.
        Sehubungan dengan itu mereka menghadap kepada Khalifah Umar meminta keterangan bagaimana hukumnya, dan apa yang mesti dilakukan, Khalifah Umar tidak langsung menjawab tapi beliau bermusyawarah terlebih dahulu dengan sahabat lain, yaitu Abdurrahan bin ‘Auf, kemudian beliau bertanya kepada pemburu keledai tadi:
        A’amdam qataltuhu, am khoto’an”
        “Apakah dengan sengaja kamu memburu (membunuh) keledai itu atau kesalahan (tidak sengaja)?”
orang itu menjawab:
“Saya melempar dia dengan sengaja, tapi tidak berniat untuk membunuhnya”
Khalifah Umar menjawab:
        Ketidaksengajaan kamu bercampur dengan kesengajaan (mengandung unsur kesengajaan)”
        Lalu Khalifah memerintahkan supaya pemuda itu membayar kifarat, yaitu menyembelih seekor kambing dang dagingnya mesti disedekahkan/
        Qubaisah menasehatkan kepada kawannya, supaya dia melakukan apa yang diperintahkan Khalifah dan memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, yaitu membayar kifarat.
        Qubaishah merasa perlu mengingatkan hal itu kepada kawannya, setelah nampaknya dia segan membayar kifarat atau merasa tidak bersalah, sebab ia membunuhnya dengan tidak sengaja, atau mungkin disebabkan lain.
        Sehubungan dengan cara Khalifah Umar sewaktu menjawab ia tidak langsung, tapi bermusyawarah dulu dengan Abdurrahman bin Auf, dinilai oleh pemuda Qubaisah hal itu merupakan suatu keaiban yang tidak layak bagi seorang pemimpin seperti yang tidak tahu hukum, hingga pemimpin itu bisa menjawab setelah bertanya kepada orang lain.
        Peristiwa itu sampai kepada Khalifah Umar, lalu Khalifah menasehati Qubaisah: 
يَا قَبِيْصَةُ بْنِ جَابِرٍ ! اِنِّي اَرَاكَ شَابَّ السِّنِّ , فَصِيْحَ الصَّدْرِ , بَيْنَ اللِّسَانِ , وَ اِنَّ الشَّابَ فِيْهِ تِسْعَةُ اَخْلَاقٍ حَسَنَةٍ وَ خُلُقٌ سَيِّئٌ فَيُفْسِدُ الخُلْقُ السَّيِئُ الأَخْلَاقَ الحَسَنَةَ فَاِيَّكَ وَ عَثَرَاتِ الشَّبَابِ.
         “Hai Qubaishah bin Jabir! Usiamu masih muda, dadamu luas, lidahmu jelas. Sesungguhnya anak muda, padanya ada sembilan akhlak yang baik, ditambah satu akhlak yang jelek, maka akhlak yang jelek itu merusak semua akhlak yang baik. Maka berhati-hatilah, jaga dirimu, hindarkan dari kegelinciran kemudaan” (HR. At-Thabrani, Al-Hakim, dan Al Baihaqi dalam Umdah, 4:227)
           Sebenarnya Khalifah Umar bukan tidak tahu hukum, atau tidak mengerti. Beliau bermusyawarah dengan Abdurrahman bin ‘Auf, bukan menanyakan hukum, akan tetapi dalam al-Quran dijelaskan, untuk memutuskan berapa kafarah yang mesti dibayar oleh orang yang memburu dalam ihram itu mesti diputuskan oleh dua orang yang adil, maka untuk mengamalkan perintah al-Qur’an, Khalifah Umar mengajak Abdurrahman bin’Auf agar ikut menjadi hakim.
        Jadi bukan Khalifah Umar yang keliru, tapi keangkuhan kemudaan Qubaisah lah yang mengakibatkan ia lupa akan ayat 95 dari surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ ....
        “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”
        Pada ayat itu disyaratkan ketentuan besar dan kecilnya binatang ternak yang mesti disembelih sebagai kafarah itu, mesti diputuskan oleh dua orang hakim adil di antara kamu, dan bila tidak dengan sembelihan, dapat diganti dengan memberi makan orang-orang miskin atau dengan shaum, tapi berapa miskin yang harus diberi makan atau berapa hari ia harus shaum sebagai kafarah itu harus ditentukan jumlahnya oleh dua hakim, tidak boleh oleh satu hakim, maka untuk mengamalkan ayat itu Umar mengajak Abdurrahman bin ‘Auf untuk bermusyawarah.
        Saya sering menganjurkan kepada anak didik yang akan meninggalkan pesantren, yang lulus dalam ujiannya, supaya mereka bukan hanya menjadi pelanjut tapi mesti lebih pintar, lebih alim lebih sempurna dari guru yang telah mengajar mereka, tapi ada juga yang salah terima, maka dia menjadi sombong, lalu berkata: “Dulu dia guru saya, sekarang saya bukan ‘saya’ yang dahulu”, dan ada pula yang merasa malu mengaku bekas guru, selalu dia mengatakan, “Bukan guru saya tapi kawan, bahkan katanya, tanpa saya dia tidakn bisa berbuat apa-apa” dan ternyata karena sombong seperti itu ilmunya tidak bermanfaat, ilmunya justru membesarkan kepalanya, nampaknya itulah salah satu diantara yang dinasehatkan Umar kepada pemuda Qubaishah.
        Orang tua atau guru tidak mustahil salah, layak mendapat koreksi dari anak atau muridnya, atau dari pemuda, tapi tidak mesti menyombong, dan beranggapan orang tua tidak ada jasanya. Saya ingat kepada pengarang kitab Nahwu yang terkenal yaitu kitab Alfiyah karya Ibnu Malik, sebelum ada kitab Alfiyah tersebut sudah ada kitab yang dikarang sama namanya Alfiyah, yaitu Alfiyah karya Ibnu Mut’I, dan ternyata Alfiyah Ibnu Malik lebih baik dan lebih sempurna.
        Sehubungan dengan hal itu Ibnu Malik berkata:
        “Faiqotan Alfiyah Ibni Mut’i” – Kitab Alfiyah karangannya lebih tinggi dari Alfiyah Ibnu Mut’I, akan tetapi Ibnu Malik tidak sombong dan menyambung perkataannya: “Wa huwa bi sabqin tafdila, mustaujibun tsaniyal Jamila” – Dia mendapatkan kemuliaan karena dia lebih dahulu, dan wajib bagi saya berterima kasih kepadanya dengan penghargaan yang baik”
        Tatkala Rasulullah mulai menjalani tugasnya sebagai utusan Allah, mendapat nasihat dari Waraqah bin Naufal, dan ia menyatakan bahwa perjuangan itu sangat memerlukan tenaga pemuda. Waraqah bin Naufal yang sudah lanjut usianya, sudah menjadi ‘rongsokan’ itu berkata”
        “Laitani kuntu jadza’an”, alangkah gembiranya bila aku muda lagi.
        Dan para shahabat, apabila bertemu dengan para pemuda mereka menilai pemuda itu sebagai “Washiyyatu Rasulillah”, bila bertemu dengan para pemuda, mereka berkata:
مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْصَنَا رَسُوُلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , اَنْ نُوَسِّعَ لَكُمْ  فِي المَجْلِسِ , وَ اَنْ نُفَقِّهَكُمْ , فَإِنَّكُمْ خُلُوْفُوْنَا وَ اَهْلُ الحَدِيْثِ بَعْدَنَا
“Selamat datang para pelanjut perjuangan Rasulullah saw, Rasulullah saw. berpesan kepada kami agar kami meluaskan tempat belajar untuk kalian, dan berusaha supaya kalian jadi ahli fiqih berpengertian mendalam dalam agama, sesungguhnya kalian penyambung garis kami, dan kalian ahli hadis sepeninggal kami”. – As-Sunnah Qabla Tadwin: 45 –  
      


[1] Tulisan KH. E. Abdurrahman dalam majalah Risalah pada rubrik Renungan Tarikh, Muharram 1397 H/Januari 1977 M. No 163, Th. XVI. Ditulis ulang dengan sedikit perubahan kata tanpa perubahan makna oleh Rexy Abdullah. 

No comments