ULAMA DALAM KEMERDEKAAN DAN PEMBANGUNAN
PEMBUKAAN UUD 1945 menegaskan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Rumusan itu sungguh indah; sesuai dengan
rumusan aqidah ahlus sunnah; memadukan aspek rahmat Allah dan usaha manusia.
Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaan dan kita mengakui, bahwa Allah
Subhanahu Wata’ala adalah yang menganugerahi kemerdekaan. Pengakuan itu kita
letakkan dalam Pembukaan Konstitusi, dan biasanya dibaca setiap upacara
bendera.
Dengan pemahaman seperti itu, sepatutnya bangsa Indonesia, dan kaum
Muslim khususnya, tidak boleh merasa angkuh, bahwa kemerdekaan itu diraih
semata-mata karena usaha perjuangan rakyat Indonesia. Tapi, kemerdekaan adalah
anugerah Allah, sehingga kemerdekaan kita pahami sebagai nikmat dari Allah yang
wajib kita syukuri. Syukur, maknanya, menggunakan nikmat itu sesuai dengan Yang
Memberi Nikmat; bukan menurut hawa nafsu kita. Semoga kita dan para pemimpin
kita sadar akan makna penting dari kemerdekaan.
Rumusan penting itu memang
dihasilkan dari goresan tinta ulama dan cendekiawan Muslim yang
berunding dalam Panitia Sembilan dalam BPUPK tahun 1945 yang menghasilkan
dokumen sejarah penting, yaitu Piagam Jakarta.
Syukurlah, rumusan “Atas berkat rahmat Allah… “ itu tidak dituntut untuk
dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Seperti kita pahami, “tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang
PPKI, 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia mendapat telepon dari seorang
perwira Jepang yang mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur.
Bahwa, mereka tidak mau bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak
dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar pencoretan “tujuh kata” itu masih
misterius, sebab sampai meninggalnya, Bung Hatta tidak membuka siapa sebenarnya
perwira Jepang yang meneleponnya tersebut.
Tapi, bagaimana pun, peristiwa itu telah menjadi sejarah. Kita ambil
hikmahnya. Bagi umat Islam, tanggal 17
Agustus 1945, adalah hari yang patut disyukuri sebagai rahmat Allah Subhanahu
Wata’ala, dan tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari yang jangan dilupakan. Itulah
hari dimana para tokoh Islam menerima tuntutan kaum Kristen Indonesia Timur,
demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga
demi persatuan dan kesatuan NKRI.
Kita perlu mengingat kembali, bahwa setelah Piagam Jakarta ditetapkan,
masih ada sebagian anggota BPUPK yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno
sendiri menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi
kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita
menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan
kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
sudah diterima Panitia ini.”
Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar
(UUD) 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika
naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal
dalam UUD 1945 masih menjadi masalah yang diperdebatkan.
Dalam sidang BPUPK tanggal 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengusulkan,
agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu
juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”,
dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan
sebagainya. Kata Kyai Wahid Hasyim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan.
Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena
menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Usul KH Wahid Hasyim disokong oleh Soekiman. Tapi, Haji Agus Salim
mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan kembali kesepakatan yang telah
dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usulan Wahid
Hasyim akhirnya ditolak. Tapi, pada sidang tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus
Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang
meminta agar frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dihapuskan
saja. Jadi, bunyinya menjadi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam.”
Menanggapi permintaan KIai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno
kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia
Sembilan. Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI:
“Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya
kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis
berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis
yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang
sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh
anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan
Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara
pihak Islam dan pihak kebangsaan.” (Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat A.B.
Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Uiversitas Indonesia, 2004).
Semangat jihad
Peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 membuktikan kebesaran jiwa para ulama
dan tokoh Islam dalam menyikapi persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya, sikap
itu merupakan rangkaian panjang dari keterlibatan para ulama dalam berbagai
perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah. Memang, sejarah mencatat, goresan
tinta ulama memiliki andil signifikan dalam meraih kemerdekaan NKRI.
Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali memadukan goresan
tinta ulama dan kucuran darah syuhada. Penjajahan bukan soal politik dan
ekonomi, tetapi juga masalah iman. Sebab, penjajah membawa misi “Gospel”, yakni menyebarkan agama mereka dan
merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan para ulama Islam sangat
menonjol.
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan
para ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari
(1627-1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab
keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah
tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar
4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Menurut satu versi, Syekh Yusuf berhasil ditangkap setelah komandan
pasukan Belanda, van Happel, berhasil menyusup ke markas Syekh Yusuf, dengan
menyamar sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh Yusuf pun dibuang ke
Srilanka dan Afrika Selatan untuk mengurangi pengaruhnya. Tapi, justru di kedua
tempat itu, Syekh Yusuf berhasil mengembangkan Islam dengan mengajar dan
menulis. Usaha Belanda untuk mengkristenkan Syekh Yusuf juga gagal. Sarjana
Evangelis Belanda, Samuel Zwemer, mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari Gereja
Belanda Tua Cape Town, yang gagal menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk
Kristen.
Ulama lain, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), dikenal
sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah,
Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian kuat terhadap kondisi Nusantara dan
mendorong kaum Muslim untuk melaksanakan jihad melawan penjajah.
Sebuah kitab berbahasa Arab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah
ditulisnya dengan judul, Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail
al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Melalui kitabnya
ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk
melakukan jihad melawan kaum kafir.
Dalam The Achehnese, seperti dikutip Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan
bahwa karya Syekh al-Palimbani merupakan sumber rujukan utama berbagai karya
mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat panjang melawan Belanda, mulai
1873 sampai awal abad ke-20. Kitab ini menjadi model imbauan agar kaum Muslim
berjuang melawan kaum kafir.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal
kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari
dengan fatwa jihadnya, pada 14 September1945.
Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa
Madura itu antara lain berbunyi: (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Umat Islam,
terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya
yang hendak kembali menjajah Indonesia, (5) Kewajiban tersebut adalah “jihad”
yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada
dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat
jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib
membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. Dalam teks
lain, ada tambahan: “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan tekad dan
kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits (Nabi)
riwayat Muslim.”
Dampak dari Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai
dan santri berperang melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan Perang
Dunia kedua. Lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih
tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di
tangan laskar santri. (Lihat, el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, 2010).
Dimana ulama kini?
Fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari – yang ketika itu juga sebagai pemimpin
tertinggi umat Islam di Indonesia, sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi —
menunjukkan kebesaran jiwa para ulama dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia.
Sikap itu juga menunjukkan kedewasaan berpolitik dalam bingkai NKRI. Meskipun tidak seluruh tuntutan dan cita-cita
para ulama itu terpenuhi dalam memperjuangkan dasar negara, tetapi mereka
“tidak ngambek” atau lari dari NKRI.
Fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah wajib hukumnya,
menunjukkan pembelaan hidup-mati umat Islam Indonesia terhadap kemerdekaan
Indonesia.
Merenungkan sejarah perjuangan para ulama dalam memperjuangkan dan
membela kemerdekaan Indonesia itu, kita patut bertanya sekarang, di mana para
ulama itu ditempatkan? Dalam upacara peringatan kemerdekaan, biasanya ulama
ditempatkan dalam posisi “terhormat” sebagai “tukang baca doa”. Lumayan! Daripada tidak sama sekali! Akan
tetapi, apakah ulama diajak rembukan untuk memusyawarahkan, bagaimana seharusnya
bangsa kita ini mensyukuri nikmat kemerdekaan yang katanya diraih “atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa” itu?
Mengapa memperingati kemerdekaan yang resmi dan diakui oleh institusi
kenegaraan hanya berupa upacara bendera? Bagaimana jika bentuk peringatan resmi
kemerdekaan RI itu dilakukan dengan khataman al-Quran dan pembacaan kisah-kisah
perjuangan para pahlawan di seluruh masjid di Indonesia? Bukankah itu sesuatu
yang bagus? Silakan yang melaksanakan
lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba panjat pinang; tetapi tidak ada
salahnya jika Presiden bersama para ulama memberi contoh memperingati
kemerdekaan dengan acara ibadah di masjid. Agak aneh, bahwa masjid-masjid di
Indonesia belum terdengar menyelenggarakan acara peringatan kemerdekaan RI, padahal,
kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan yang panjang oleh para ulama dan
para syuhada.
Lebih menyedihkan, setelah kemerdekaan, ada usaha – sadar atau tidak –
untuk menyingkirkan ulama dari perumusan konsep-konsep pembangunan untuk
mengisi kemerdekaan. Ulama dijadikan sebagai makhluk yang berharga terutama
saat menjelang pilihan presiden atau pilkada.
Saat diperlukan – kadang ulama didatangi; diminta doa, restu, atau
dukungan politik, agar jabatan politik diraih; agar hujan turun saat kekeringan;
agar krisis berlalu saat dilanda krisis. Setelah semua kebutuhan terpenuhi,
ulama ditinggalkan, diposisikan sebagai “pendorong mobil mogok”.
Tapi, itu pun masih lumayan; daripada para pejabat datang ke
dukun-dukun klenik. Ulama adalah pewaris Nabi. Mereka wajib menjaga diri. Tugas utamanya adalah
melanjutkan perjuangan menegakkan misi kenabian. Ulama tidak perlu minta
dihormati, apalagi sampai “gila hormat”.
Kata Imam al-Ghazali, jika ulama rusak, cinta harta dan kehormatan
(hubbul mal wal-jah), maka rusaklah penguasa. Jika penguasa rusak, maka rakyat
pun binasa.
Sejarah telah membuktikan, bagaimana para ulama kita begitu hebat
perjuangannya dalam menyebarkan dan menjaga Islam di seluruh negeri. Begitu
hebat dan cerdiknya para Wali Songo yang mendidik dan kemudian mengangkat Raden
Patah sebagai Raja Muslim pertama di Tanah Jawa. Jika ulama setia pada
perjuangan menegakkan cita-cita mulia para anbiya,pasti para penguasa tak akan
memandang mereka hina! Wallahu A’lam.
Oleh: Dr. Adian Husaini
No comments