Tamtsil Ilmu dan Hidayah
Di antara metode Al-Quran dan
Al-Hadits dalam menguraikan ilmu adalah metode Tamtsil alias perumpamaan.
Tujuan dari hal ini adalah agar si pembaca, selain memahami, juga diajak untuk
melibatkan pemikiran dalam memvisualkan sesuatu yang dibahas. Selain sebagai
keindahan tata bahasa, tamtsil juga digunakan sebagai cara untuk menguatkan
ingatan pembaca.
Sebagai sampel metode pengajaran
tamtsil, kita pelajari hadits Rasulullan saw. berikut:
مَثَلُ
مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ الْغَيْثِ
الْكَثِيرِ، أَصَابَ أَرْضًا
Perumpamaan perumpamaan diutusnya
Aku oleh Allah dengan membawa hidayah dan ilmu, adalah seperti hujan yang
lebat menimpa tanah.
فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ
الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ
Diantara tanah itu ada bagian yang
baik (subur) yang dapat menyerap air dan menumbuhkan pepohonan dan rerumputan
yang banyak.
وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ
أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا
وَزَرَعُوا
Diantara tanah juga ada bagian yang
keras dapat menampung air (tapi tidak dapat menumbuhkan). Maka dengan tanah itu
Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat minum darinya,
menyiram tanaman, dan dapat memberi minum ternak.
وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً
أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تَنْبتُ كَلأَ
Diantara air itu ada yang menimpa
jenis tanah yang lain, yaitu tanah yang tandus dan gersang. Tidak dapat
menampung air dan tidak dapat menumbuhkan tumbuhan.
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِي
دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ
مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي
أُرْسِلْتُ بِهِ
Demikianlah perumpamaan orang yang
faham dalam agama Allah dan apa yang Allah utus kepadaku memberi manfaat
kepadanya, maka dia mengetahui dan mengajarkan ,dan perumpamaan orang yang
tidak mau mengangkat kepala dengan hal itu (sombong) serta orang yang tidak mau
menerima hidayah Allah, yang aku diutus dengan membawa hidayah itu.
(H.R. Muttafaqun ‘Alaih).
Dalam hadits tersebut, dijelaskan ada
dua hal yang menjadi objek tamtsil (penyerupaan) yakni air diibaratkan sebagai
ilmu dan hidayah (agama), dan tanah diibaratkan sebagai hati manusia.
Marilah kita pelajari segi-segi
keserupaan antara air dan agama (Islam dan Al-Quran) seperti yang diisyaratkan
pada ayat di atas:
1. Air = Agama
a. Air adalah Sumber Kehidupan di
Bumi
Tidak ada makhluk biologis yang dapat
bertahan hidup dengan baik tanpa sumber air yang baik pula. Bahkan bagi makhluk
sejenis ikan keluar dari air berarti menyongsong kematianya.
Demikian pula wahyu Allah yang merupakan
sumber utama agama, merupakan sumber kehidupan manusia. Jika air menjadi
konsumsi bagi pertumbuhan dan kesehatan fisik-jasmani, maka agama menjadi sumber konsumsi kehidupan manusia.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika menyeru kamu kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepadamu. Dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi antara
manusia dengan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan kembali.”
(Q.S Al-Anfal [8]: 24).
Menurut At-Thabari Maksud dari
“penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul jika menyeru kamu kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepadamu” adalah penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya dengan
ketaatan, jika Rasul tersebut menyeru
kamu kepada Allah Yang menghidupkan kamu, yaitu kepada kebenaran. Sedangkan
“dan ketahuilah bahwasanya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya” ialah
pemberitahuan bahwa Allah lebih menguasai hati hamba-Nya daripada hambanya
sendiri.
b. Air Mengalir dari Tempat Tinggi
Air diturunkan Allah dari langit dengan
sifatnya yang mengalir dari dataran tinggi menuju tempat yang lebih rendah.
Jika ia dibentengi dengan tembok atau dinding tebal maka ia tak akan
menembusnya. Ia akan tergenang hingga menyamai ketinggian tembok atau dinding
tersebut. Demikian pula dengan sifat dan karakter dari ilmu dan hidayah. Ia
turun dari yang Mahatinggi, Allah swt.. Diturunkan kepada umat manusia melalui
para utusan-Nya agar didakwahkan kepada segenap umat manusia. Tetapi, ada
banyak benteng yang menghalangi masuknya ilmu. Benteng tersebut di antaranya takabur
(sombong) dan haya’ (malu).
Takabur atau sombong hakikatnya
ialah menganggap hina orang lain dan merasa dirinya yang paling mulia sehingga
menolak segala ilmu, nasehat, kritik, atau saran dari orang lain.
Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk surga orang
yang dalam hatinya ada sebutir kesombongan.” (H.R. Ahmad,
Tirmidzi, Nasaiy, dan Thabraniy).
Sedangkan haya` adalah arti sifat
gengsi atau malu, hakikatnya adalah penghalang orang untuk mendapat ilmu dan
tuntutan.
Ada hadits mauquf bersumber dari Mujahid
yang bunyinya sebagai berikut:
لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٌ
وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
“Tidak akan mampu menuntut ilmu
orang yang malu dan sombong.” (H.R. Bukhari)
c. Air itu Asalnya Bersih
Air hujan ketika turun dari langit dalam
keadaan suci dan bersih. Tetapi ketika sudah jatuh menimpa tanah, ia tercemari
berbagai jenis kotoran yang telah ada di tanah itu. Sehingga air yang suci
berubah menjadi hitam pekat terpolusi oleh berbagai limbah dan kotoran.
Begitu pun agama Allah, ilmu dan hidayah-Nya.
Ia turun dari langit dibawa para Rasul dalam keadaan suci bersih, hanif
(lurus), ikhlas dan fitrah sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri.
Tetapi, manakala Rasulnya sudah tiada,
agama dipeluk oleh para pengikutnya berdasarkan warisan dan tradisi turun-menurun yang tak jarang
telah tercemari oleh berbagai paham, keyakinan, tradisi dan ambisi, hawa nafsu
yang buruk. Sehingga kemurnian agama Islam menjadi keruh oleh berbagai macam
limbah, kesesatan penyimpangan.
Tauhid bercampur dengan syirik, ibadah
bercampur dengan adat-istiadat, sunnah bercampur dengan bid’ah (sebutan untuk
suatu amalan yang tidak diperintahkan, tidak diteladankan dan disetuji oleh
Rasulullah saw.).
2. Tanah = Hati
Selain penyerupaan agama dengan air, dalam
hadits tersebut diibaratkan pula hati manusia dengan tanah. Bagaimana
penjelasannya? Mari kita pelajari….
Sisi keserupaan tanah dengan hati dalam
hadits tersebut adalah pada sisi penerimaan tanah terhadap air. ada tiga jenis
tanah yang dijelaskan, yaitu:
a. Naqiyah (tanah subur).
Tanah ini dapat menyerap
air dan menumbuhkan pepohonan dan rerumputan. Tanah ini merupakan ibarat hati
manusia yang menerima ilmu dan hidayah (agama). Dengan ilmu dan hidayah yang
dimilikinya, ia menjadi manusia shaleh yang taat kepada aturan Allah swt..
b. Ajadib (keras)
Tanah
ini tidak dapat menyerap air dan tidak menumbuhkan pepohonan dan
rerumputan. Tanah ini hanya dapat menampung air. Kemudian masyarakat
memanfaatkan air tersebut untuk konsumsi hidup.
Ini adalah perumpamaan hati manusia yang
dapat menampung ilmu dan hidayah. Selain itu, ia pun bisa memberi manfaat
kepada umat dengan ilmunya. Tetapi, sayang seribu sayang, ia tidak bisa
mengambil manfaat dari ilmu yang dimilikinya sendiri. Dalam arti lain, ilmunya
tidak ia amalkan sebagaimana mestinya. Bagaikan ilmu lilin, orang laij
diterangi tetapi dirinya sendiri celaka dan binasa.
c. Qi’an (tandus)
Tipe tanah ini tidak mampu menyerap
air, tidak menumbuhkan pepohonan dan tidak pula menampung air. Ini merupakan tamtsil
hati manusia yang tidak mau mempelajari ilmu sehingga tidak mendapatkan
hidayah. Jika ia dinasehati, nasehat tersebut sama sekli tidak masuk kedalam
dua belah kupingnya, apalagi harus masuk ke lubuk hatinya. Ia menolak kebenaran
dan menyepelekan manusia.
Dari keterangan hadits tersebut, Ibnul
Qayyim mengklasifikasi hati manusia menjadi tiga macam, yaitu qalbun salīm (hati
yang selamat), qalbun saqīm (hati yang berpenyakit) dan qalbun mayyit
(hati yang mati).
Bagaimana penjelasan jenis-jenis hati
tersebut? Insya Allah akan kita kupas di edisi yang akan datang.
Oleh: Yusuf Awaludin
No comments