ads header

Postingan Terbaru

UMAT ISLAM, HAMBA ALLAH YANG MAHA ADIL


Kita akan mencoba lebih mendalami cara berpikir yang dipakai saudara-saudara kita tentang bid’ah, sesat dan kafir. Apakah betul hanya Tuhan yang berhak menilai tentang hambanya?

Istilah bid’ah itu memang bisa diterapkan dalam persoalan ibadah ataupun ‘adat, tergantung dari arti yang dipakai. Baik dalam definisi secara bahasa (etimologis) maupun istilah (terminologis). Tapi bid’ah dalam persoalan ibadah, tetap tidak dapat dibenarkan dalam definisi apapun. Karena akan terancam dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud, yang berbunyi, ”Kullu bid’atin dholalah wa kullu dhalalatin finnar”. Jadi, dalam persoalan ibadah, bid’ah itu tidak boleh ada. Namun dalam arti etimologis, bid’ah dalam persoalan duniawi (‘adat) justru dianjurkan. Sebab hal tersebut ada indikasi yang dekat dengan kemajuan yang positif. Dalam hal ini, Islam justru sangat menganjurkan umatnya untuk berkompetisi dalam menciptakan bid’ah-bid’ah tersebut.

Lebih sederhana lagi bahwa, antara bid’ah dan syirik itu terletak kesamaan dalam perspektif terminologis, bahwa keduanya mempunyai inti yang sama. Jika bid’ah itu dipakai dalam persoalan ibadah, maka syirik digunakan dalam persoalan aqidah. Namun, keduanya sama-sama bersifat tambahan (az-Ziyadah) yang dilarang di dalam agama. Oleh karena itu, mengapa ada sebagian kelompok yang sangat tegas dalam merespon berbagai upaya penodaan terhadap aqidah Islam (syirik) termasuk penodaan dalam ibadah (bid’ah)?

Hal ini adalah sikap purifikatif terhadap kesucian ajaran Islam. Kenapa, karena jika kesucian sebuah ajaran sudah ternodai, maka jangan harap ajaran itu akan dapat hidup kekal di permukaan bumi ini. Sebagai contoh, kita dapat melihat keberadaan agama Kristen yang sebagian besar ajarannya tengah banyak terkontaminasi dengan perkataan rahib-rahib, dan pengikut Isa, setelah wafatnya Nabi Isa AS Yang pada akhirnya kitab suci yang dianggap sakral, harus ternodai oleh perkataan rahib-rahib. Kenapa, karena banyaknya tambahan yang disisipkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi Isa AS (baca: sisipan yang bukan sebenarnya). Maka agama Kristen mengalami kemunduran, stagnasi dalam menerapkan sebuah ajarannya terhadap masyarakat yang lebih luas.

Mengharapkan surga dengan amal ibadah kita, bukanlah suatu masalah. Banyak yang menjadi rajin beribadah karena merasa termotivasi oleh surga, sehingga ia pun menjauhi larangan-Nya karena takut siksa neraka, ini tidak ada sedikit pun persoalan. Karena deskripsi al-Quran sendiri menyentuh fitrah manusia yang merindukan kebahagiaan hakiki. Misalnya, dalam al-Quran surat Muhammad : 15, “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka di dalamnya memperoleh segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya”.

Lebih konkrit lagi, perhatikan surat Ali Imran : 133, ”Dan bersegeralah kepada ampunan Tuhanmu dan surga-Nya...”.

Harga Sebuah Penilaian

Kita sebagai manusia tidak berhak untuk memberikan penilaian, sesat, kafir, dan bid’ah. Kenapa, karena yang berhak untuk memberikan penilaian adalah Tuhan semata.

Betul, penulis sepakat dengan pernyataan di atas. Tetapi, akal yang Tuhan berikan terhadap manusia adalah untuk dapat menilai, membedakan, dan menentukan. Karena, di saat kita menyerahkan semuanya terhadap wewenang Tuhan semata dalam menilai, maka anugerah Tuhan (akal) itu tidak mendapat porsi sebagaimana mestinya. Bukankah kita mengagung-agungkan akal dalam menempatkan agama sebagai upaya kesadaran umat, tapi akal kita sendiri tidak dapat menjelaskan arti sebuah penilaian dari manusia yang sangat erat kaitannya dengan pemakaian akal itu sendiri?

Maka suatu hal yang wajar bila manusia mempunyai sebuah penilaian, baik secara objektif maupun subjektif. Yang jelas, otoritas manusia dan Tuhan tidak selalu mesti disatukan atau dipisahkan, tapi keduanya adakalanya disatukan, terkadang pula dipisahkan. Semisal pemisahan penilaian dalam ruang lingkup manusia itu ada, tidak hanya bagi Tuhan. Dan standar penilaian baik bagi Tuhan itu adalah yang siapa pun melaksanakan semua ajaran-Nya sesuai dengan segala tuntunan-Nya (al-Quran dan as-Sunnah). Begitu juga sebaliknya.

Bagaimana standar penilaian bagi manusia? Hal ini yang dijadikan alasan bahwa manusia tak mempunyai hak untuk menilai. Padahal, manusia pun berhak untuk menilai, baik dalam menilai hal yang bid’ah, sesat maupun kafir. Kenapa, karena adanya fungsi akal manusia itu sendiri, yang mempunyai proses dalam pembelajaran. Toh manusia yang berakal, bagaimana mungkin tidak dapat menilai, mana yang sesat, mana yang bid’ah dan mana yang kafir!

Akan selalu ada yang mengkritisi dan menganalisa pemikiran siapa pun, dan bentuk bagaimana pun dalam upaya membangun tradisi dialog, tidak hanya dapat saling mengklaim tanpa ada klarifikasi dan kritik analisis terlebih dahulu. Allah SWT berfirman,

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...” (QS. al-Baqarah : 143).

Dari ayat tersebut, Allah yang Maha Adil menghendaki umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.

Oleh: Agus Salim

No comments