Kaderisasi Dakwah
وَلْيَخْشَ
الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْا اللهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S.
an-Nisa` [4]: 9).
Karena
setiap yang bernyawa akan mengalami mati, sedangkan perjuangan tidak boleh
berhenti pada satu generasi, maka mutlak dan niscaya kita mesti menyiapkan
generasi pelanjut. Jika kita hanya memikirkan kehidupan untuk diri sendiri
sedangkan generasi pelanjut tidak diperhatikan bahkan tidak disiapkan, itu
namanya egois dan sebenarnya sedang menghabisi kelestarian jihad.
Dalam ayat yang dinukil pada awal
tulisan, Allah secara tegas memerintahkan kita untuk khawatir jika kita
meninggalkan generasi penerus perjuangan dalam keadaan lemah. Lemah yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah lemah dalam ekonomi karena ayat tersebut
memang berbicara tentang harta warisan. Sehingga penafsirannya dimungkinkan ada
dua hal, yaitu:
Pertama, orang tua yang akan
meniggalkan anak dan cucunya tidak boleh menghabiskan hartanya. Jika hendak
mewasiatkan atau mewakafkan harta, batasan maksimalnya adalah sepertiga harta
sebagaimana yang Rasulullah tegaskan kepada Sa’ad bin Abu Waqash dalam hadits
riwayat Imam al-Bukhari.
Kedua, umat hendaknya
memerhatikan nasib anak yatim yang miskin yang tidak memiliki peninggalan harta
dari orang tuanya. Mereka mesti diperhatikan karena mereka juga bagian dari
generasi penerus perjuangan.
Meskipun ayat tersebut
konteksnya tentang lemah dalam hal ekonomi (harta warisan), tetapi tidak
menutup kemungkinan, ayat tersebut sebagai representasi untuk kelemahan
seluruhnya. Seperti, ilmu, iman, jasmani, pemikiran, sosial, budaya, politik,
pendidikan, kesehatan, pertahanan, dll.. Jika generasi penerus lemah dalam urusan-urusan tersebut, apa jadinya nasib mereka ke
depan? Apa jadinya nasib Islam setelah kita tiada.
Umat yang Sukses
Umat dikatakan
berhasil salah satunya ketika mampu melakukan kaderisasi atau regenerasi
kepemimpinan karena keberhasilan menciptakan generasi yang baik merupakan
perwujudan lestarinya perjuangan. Perjuangan akan terhenti ketika umat tidak mampu
melakukan regenerasi kepemimpinan.
Oleh
karena itu, kaderisasi merupakan suatu hal yang mutlak dan niscaya. Rasulullah
sebagai pemimpin pun mampu melakukan kaderisasi dengan baik. Terbukti sepeninggal
beliau, lahirlah generasi pemimpin yang baik yang kita kenal dengan al-Khulafā`ur
Rāsyidīn (para pemimpin yang mengarahkan).
Gambarannya bisa kita perhatikan dalam terjemah ayat berikut:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu
menjadikan tanaman kuat lalu menjadi besarlah tanaman itu dan tegak lurus di
atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Fath [48]: 29).
Perhatikan kalimat yang bergaris bawah! “Seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya”. Kalimat tersebut adalah ajaran untuk dakwah, pembinaan,
dan kaderisasi yang berkelanjutan sehingga melahirkan kader-kader dakwah yang
baik dan siap mengokohkan “pohon” perjuangan di atas pokoknya.
Umat yang Gagal
Sebaliknya, jika umat lalai dan tidak mampu melakukan pengkaderan, maka
kehancuran kepemimpinan akan segera terjadi karena yang menggantikan perjuangan
adalah generasi yang lemah. Lemah ilmu, lemah iman, lemah amal, lemah
pendidikan, lemah ekonomi, lemah akhlak, lemah siyasah, lemah budaya, dll..
Ada dua ciri generasi lemah yang
dijelaskan al-Quran. Ciri tersebut termaktub dalam al-Quran Surat Maryam (19)
ayat 59.
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, generasi yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan
menemui kesesatan.”
Dua
kriteria generasi lemah dalam ayat tersebut yaitu (1) menyia-nyiakan shalat
dan (2) mengikuti hawa nafsu, merupakan dua di antara sekian ciri
generasi lemah. Masih banyak ciri lain, namun Allah merepresentasikan dengan
dua hal saja. Kenapa? Karena, jika mau dilogiskan, shalat merupakan tiang
agama. Jika tiang agama tidak didirikan, agama akan hancur.
Kemudian,
syahwat adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak mampu dikendalikan. Generasi
yang mengumbar syahwat bisa diprediksi hidupnya akan tak terkendali. Perhatikan
saja data dari Komnas Pendidikan Anak yang menyatakan sebanyak 62,7 % remaja di Indonesia pernah
melakukan hubungan layaknya suami istri. Sementara data dari BKKBN menyatakan
sebanyak 51 % remaja pernah melakukan seks bebas dan menurut data dari BNN dari
tahun 2003 sampai 2010 terjadi kenaikan transaksi narkoba sebanyak 300 persen
(belum dengan durasi tahun 2010-2012). Ini semua adalah karena syahwat yang
tidak dikendalikan. Na’ūdzu billāh min dzālik.
Penutup
Untuk menutup tulisan sederhan ini, saya sertakan kisah menarik berikut:
Suatu hari, Raja Persia berjalan-jalan, meninjau wilayah kekuasaannya.
Di tengah Raja menjalankan kebiasaannya itu, ia melihat seorang kakek tua
tengah menanam bibit pohon kurma. Ia heran dengan apa yang dilakukan kakek itu.
Pikir sang raja, “Bagaimana ia nanti akan menikmati hasil yang ditanam,
sedangkan ia sendiri sudah tua renta?”
Raja pun menegur kakek itu dan bertanya, “Wahai kakek, apakah engkau
bermaksud akan menuai hasil dari apa yang engkau tanam ini? Engkau tahu, pohon
kurma ini tak akan berbuah setelah beberapa tahun kemudian.”
Setelah memberi hormat kepada raja yang
menegurnya, kakek tua itu menjawab, “Wahai Raja yang agung, paduka tentu
mengetahui bahwa orang yang hidup sebelum kita telah menanam pohon kurma yang
kita tuai hasilnya sekarang ini. Dengan demikian, mengapa kita tak menanam
bibit pohon kurma agar generasi kita nanti akan dapat menuai hasilnya?“
Sang raja terkejut dengan jawaban kakek tua itu, tapi ia membenarkan
dan menyetujui apa yang dikatakannya. Raja pun memberinya hadiah sekantong
uang. Kakek tua menerimanya dan berkata, “Wahai raja yang mulia, alangkah
cepatnya benih pohon kurma yang hamba tanam ini berbuah.”
Raja Persia itu tak menyangka mendapat
jawaban seperti itu dari Sang Kakek. Raja berkata, “Benar apa yang engkau
katakan,
Kek.” Kemudian ia mengambil sekantong uang yang lain untuk diberikan lagi
kepadanya.
Kakek menerimanya dan berkata, “Wahai
Raja yang agung, yang paling menakjubkan adalah pohon kurma itu akan berbuah
dua kali dalam satu tahun seperti halnya dua kantong uang yang paduka berikan
pada hamba.” Raja itu semakin kagum dan memberi lagi sekantong uang kepadanya.
Oleh: Yusuf Awaludin | Buletin Tanwir 2012
No comments