ads header

Postingan Terbaru

ILMU, KEBENARAN, DAN KERAGUAN

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif*)
 
Mesti ditegaskan bahwa ilmu dan kebenaran itu setali tiga uang, karena ilmu adalah mengetahui yang benar, dan yang benar itu adalah ilmu. Memiliki ilmu artinya menggenggam kebenaran. Menolak kebenaran sama dengan menolak ilmu. Walhasil, mengetahui itu tidak lain adalah mengetahui yang benar. Maka mengetahui yang salah itu bukan ilmu, dan karenanya bukan kebenaran. Dan kebenaran yang salah itu tidak ada dan mustahil ada.

Sikap negatif terhadap ilmu atau kebenaran sebenarnya setua umur manusia. Secara umum dapat kita bedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) skeptisisme, (2) relativisme, dan (3) agnotisisme. 

1. Skeptisisme

Skeptisisme adalah sikap meragukan kebenaran suatu pernyataan secara mendasar dan menyeluruh. Skeptisisme ini tidak sama dengan sikap mencari tahu atau bertanya untuk meyakinkan atau menentramkan hati.

2. Relativisme

Berbeda dengan penganut skeptisisme yang menafikan ilmu sama sekali, seorang relativis mengakui bahwa kebenaran bisa diketahui. Namun, seorang relativis bersikap lebih ekstrim apabila mereka mengatakan bahwa setiap orang memiliki kebenaran sendiri. Dalam pandangan relativis, tidak ada pendapat yang salah karena semua pendapat –agama, aliran, sekte, mazhab– itu sama benarnya, dan setiap orang, kelompok, golongan sama-sama benar, tergantung dari sudut pandang, persepsi, dan framework masing-masing.

3. Agnotisisme

Seorang agnostis akan meragukan tidak hanya kebenaran posisinya sendiri dengan berkata “aku tidak tahu”, akan tetapi juga mengklaim bahwa kebenaran itu hanya dapat dicari dan dihampiri, namun mustahil ditemukan. Seorang agnostis tidak mau membenarkan ataupun menafikan kewujudan Tuhan. Oleh karena itu secara tidak langsung, seorang agnostis menolak ilmu, mengingkari kemungkinan manusia mengetahui ada atau tidak adanya sang Pencipta. Agnotisisme adalah sebuah sikap intelektual yang intinya mengatakan bahwa tek seorang pun dapat memastikan secara objektif kebenaran suatu pernyataan kecuali ia bisa menunkukkan bukti yang secara logis membernarkan keyakinannya itu.

Dalam tradisi keilmuan Islam, skeptisisme sebagai sikap intelektual tidak mendapat tempat. Al-Qur’an menyebut orang-orang yang tidak beriman kepada Allah itu asyik “bermain-main dalam keraguan”: bal hum fii syakkin yal’abuun (al-Dukhan : 9). Menurut al-Raghib al-Isfahani, keragu-raguan itu adalah kondisi mental dimana seseorang melihat dua pernyataan yang bertolak belakang sama-sama layak diterima dan dipercaya (asy-syakku i’tidal an-naqiidaini ‘inda al-insaani wa tasaawiihimaa). Menurut pakar bahasa al-Qur’an ini, keraguan itu sejenis ketidaktahuan atau kebodohan (asy-syakku dharbun min al-jahli). Maka setiap orang yang ragu itu tidak tahu, meski tidak semua orang jahil itu ragu.

Adapun penganut relativisme dalam literatur ilmu kalam atau ushuluddin dijuluki al-‘Indiyah. Sebutan ini diberikan kepada orang-orang yang mengingkari adanya kebenaran obyektif, karena yang kita miliki hanyalah kebenaran-kebenaran subyektif semata, dan kalaupun ada yang dinamakan kebenaran obyektif maka manusia tidak akan pernah bisa mencapainya. Maka kebenaran absolut yang obyektif dan universal itu tidak ada. Ungkapan yang sering kita dengar mewakili pandangan ini adalah perumpamaan empat orang buta meraba gajah yang masing-masing menyimpulkan esensi gajah sesuai dengan persepsi masing-masing berdasarkan bagian mana dari gajah itu yang dipegangnya. Kesalahan analogi ini sudah lama dijelaskan oleh Aristoteles dalam mukadimah kitab metafisikanya sebagaimana dikutip Ibn Rusydi menyatakan bahwa kebenaran itu bisa dicapai apabila manusia satu per satu mengumpulkan secuil demi secuil dari apa yang mereka dapat sehingga tercapailah kebenaran.

Kategorisasi pengetahuan dibagi menjadi tiga jenis: (1) pengetahuan yang sifatnya “benar-benar mutlak”, yaitu pengetahuan Tuhan yang maha mengetahui dan sumber segala ilmu; (2) pengetahuan yang sifatnya “mutlak secara nisbi”, yaitu pengetahuan manusia secara kolektif, intersubyektif, dan akumulatif; dan (3) pengetahuan kita yang sifatnya “nisbi secara mutlak”, yaitu segala pengetahuan yang masih berupa opini, asumsi, pendapat atau kesan pribadi, yang belum diuji, belum terbukti, tidak dikuatkan oleh kesaksian orang lain, dibenarkan oleh ahli, atau disahkan oleh yang telah dan sama mengetahui.
 
Berdasarkan kategorisasi di atas, kita dapat urut pengetahuan kita sebagai manusia (‘ilm basyari) berdasarkan derajat kekuatannya sebagai kepercayaan (i’tiqaad) dalam diri atau jiwa menjadi tiga jenis:
  
‘Ilm Yaqiiniy: yaitu pengetahuan yang pasti benar dan tiada keraguan padanya, dan inilah yang disebut ilmu karena kokoh tertancap dalam jiwa, ilmu sejati (true knowledge) yang identik dengan kebenaran (al-haqq), dan bersih dari keragu-raguan.

‘Ilm Zhanniy: yaitu pengetahuan kita yang di dalamnya masih bercampur unsur keyakinan dan keraguan, meskipun unsur keyakinan masih lebih besar daripada unsur keraguan, dan masih terselip kemungkinan meleset atau salah, atau pengetahuan yang berbasis dugaan (conjectural knowledge) yang biasanya dinyatakan dengan ungkapan “biasanya”, “umumnya”, “seringkali”, “pada banyak kasus”, “kemungkinan besar”, dan sejenisnya.

‘Ilm Wahmiy: yaitu pengetahuan kita yang kemungkinan salahnya lebih besar daripada kemungkinan benarnya, pengetahuan yang didasari oleh estimasi, fantasi, dan imajinasi dimana lebih dominan ketimbang ‘aql. Kalaupun disebut ilmu, maka hal itu merupakan penyebutan kata yang justru bermaksud sebaliknya, seperti “uang palsu” bukanlah uang.

Kemudian daripada itu, ilmu yaqiiniy itu datangnya dari wahyu, sedangkan ilmu zhanniy itu hasil kerja akal dan indera yang belum diverifikasi, dan ilmu wahmiy itu bersumber dari hawa nafsu.
 
 
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam epistemologi Islam hubungan antara keyakinan dan keraguan berbanding terbalik, dimana jika dalam waktu yang sama, keyakinan seseorang bertambah, maka keraguannya akan berkurang. Begitu pula sebaliknya, makin tebal keraguannya, maka semakin tipislah keyakinannya. Adapun zhalal adalah kondisi dimana seseorang tidak menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui, sehingga betapa pun besar kadar keyakinannya, tetap saja ia tidak berilmu alias jahil karena yang diyakininya itu ternyata salah.

*) Disampaikan dalam kegiatan "Studi Islam Intensif - Kajian Intelektual Ramadhan", Tasikmalaya, 12 Juni 2016.

No comments