HATI YANG BERNURANI
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang makna kebaikan dan keburukan, beliau mengatakan; Kebaikan (al-Birru) adalah keindahan budi pekerti.
Dan keburukan (al-Itsmu) adalah yang membuat hatimu terbetik, dan
kamu tidak ingin orang
lain mengetahuinya.” (H.R. Muslim, 2553).
Dari tanya-jawab ini dapat kita lihat bahwa ada kehendak
yang kuat dari diri Rasulullah SAW agar jawaban yang diberikan tidak perlu lagi
ditanyakan kembali, alias jawabannya harus jelas, lugas dan tuntas. Karena
shahabat yang bertanya ini sudah tentu tahu bahwa kebaikan dan keburukan adalah
akibat dari taat dan tidak taatnya hamba terhadap ajaran agamanya. Sebagai
seorang yang diutus oleh Allah SWT, Rasulullah SAW memberikan jawaban yang
benar-benar sejalan dengan apa yang dikehendaki si penanya.
Penjelasan lebih luas tentang makna kebaikan (al-Birru)
dan keburukan (al-Itsmu) dapat kita lihat dari kutipan dari Imam
al-Nawawi berikut ini:
“Para ulama berpendapat, al-Birru dapat bermakna
menghubungkan belas kasih, mendorong kepada kebaikan dan keindahan persahabatan
dan pergaulan, atau (dengan makna yang lebih umum) dapat pula bermakna
kepatuhan (kepada ajaran agama). Perkara-perkara tersebut adalah yang telah
ditetapkan dalam keindahan budi pekerti (Husnul Khuluq). Sedangkan makna
dari Maa haaka fii shadrika adalah bergetarnya dada sehingga sempitlah
dada itu yang berakibat hati dipenuhi keragu-raguan yang membawa kekhawatiran
kepada keburukan” (Lihat; al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz 16 hal. 11).
Mari kita renungkan ungkapan Rasulullah tersebut. Ternyata kebaikan berhubungan dengan “budi pekerti” dan keburukan
berhubungan dengan “hati yang
terbetik”, alias kepekaan hati.
Kebaikan dan keburukan “dipertentangkan” satu sama lainnya dengan ada atau
tidak adanya keraguan. Hal ini dipahami dari jawaban Rasulullah ketika menjawab
tentang keburukan, dimana keburukan berawal dari keragu-raguan yang timbul di
dalam dada yaitu hati. Dengan kata lain, hati memiliki kemampuan untuk
membedakan antara baik dan buruk, juga antara benar dan salah.
Oleh
sebab itulah, dalam bahasa
Indonesia, hati juga disebut
“nur(=cahaya)ani”, hati yang telah
mendapat cahaya Tuhan, atau perasaan hati yang murni dan yang sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, dalam bentuknya yang paling murni, hati kita ibarat cahaya, yang mampu
membedakan baik dan buruk. Begitu
pula dalam bahasa
Inggris, conscience (=nurani), adalah kemampuan untuk membedakan benar dan salah.
Berarti,
logikanya, berdasarkan makna di
atas, keburukan
(=”nurani yg terbetik”) itu berkaitan dengan moral judgment (pertimbangan moral)? Berarti tidak universal (berlaku pada
semua mahluk)?
Ya
memang tidak, contohnya, binatang boleh merampas
makanan binatang lain, tanpa disebut
sebagai keburukan. Tapi manusia tidak boleh merampas hak orang lain, kan? Karena manusia memiliki derajat yang lebih tinggi. Antara lain dikaruniai nurani itu,
kemampuan untuk membedakan benar dan salah.
Jadi, pada dasarnya manusia sudah memiliki kemampuan
untuk membedakan antara benar dan salah dengan hatinya sendiri, walaupun tanpa
dibekali wahyu yang Allah turunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya bagi umat
manusia.
Dalam riwayat lain disebutkan lebih jelas bahwa hati
dapat diminta untuk menilai baik dan buruk:
“Mintalah petunjuk dari jiwamu (Istafti nafsaka – qalbaka).
Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan hati dan
jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan
menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu.” (Lihat; Musnad al-Imam Ahmad
bin Hanbal, juz 29 hal. 527 no. 18001).
Maka wajar jika ditegaskan wahyu (berupa al-Qur’an dan
Sunnah) dapat berfungsi sebagai petunjuk bagi orang bertaqwa (al-Baqarah:2),
karena seorang yang bertaqwa meyakini akan segala yang dibawa oleh Rasulullah
SAW itu adalah benar tanpa sedikitpun ada keraguan di dalam hatinya.
Bila hati manusia itu sendiri pada dasarnya punya
kemampuan menilai baik dan buruk, benar dan salah, apatah lagi hati yang selalu
dibimbing dengan wahyu. Karena memang sebenarnya hati manusia dan agama Islam
saling melengkapi satu sama lain. Berbicara tentang baik dan buruk, dalam Islam
keduanya akan memanen buah yang setimpal berupa pahala dan dosa, kabar gembira
dan peringatan, surga dan neraka.
Dalam suatu hadits disebutkan: “Hanyasanya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlaq yang baik” (Lihat; Musnad al-Imam Ahmad bin
Hanbal, juz 14 hal. 512 no. 8952).
Imam Abu Ja’far al-Thahawi mengatakan, hadits di atas
sejalan dengan makna ayat “al-Yauma akmaltu lakum diinakum”
(al-Maidah:3). Hadits yang berbunyi “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq
yang baik” adalah kembali kepada kebaikan ajaran agama yaitu Islam (pada diri
seorang hamba) (Lihat; Syarh Musykil al-Atsar, juz 11 hal. 262 no. 4432).
Dari keterangan ini semakin memperjelas dan mempertegas,
bahwa tolak ukur kesempurnaan akhlaq yang baik adalah sejauh mana kepatuhan
hamba Allah terhadap ajarannya. Ketika hati terbetik sehingga timbul keraguan
dan kekhawatiran di dalam hatinya akan dosa, maka hati seperti inilah yang
masih layak disebut hati nurani. Dengan kata lain, hati nurani manusia beriman
itu bercahaya dan dapat menerangi langkah kakinya ketika memilih jalan kebaikan
dan keburukan, dengan atau tanpa wahyu sekalipun. Mungkin inilah maksud dari
ungkapan “al-Mu’minu yanzhuru bi nuurillahi”; orang beriman melihat
dengan cahaya Allah.
Lantas, bagaimana
kalau orang berbuat dosa
tapi hatinya “tidak terbetik”, alias tidak merasa
berdosa? Banyak sekali kan orang yang seperti itu?
Orang melakukan dosa tapi tidak merasa, adalah karena hatinya sudah tak lagi memiliki “kepekaan
terhadap cahaya kebaikan dan kebenaran”. Hatinya redup, bahkan gelap. Orang yang tidak dapat “melihat” dengan cahaya hatinya
dan cahaya Allah.
Hati
seperti itu, tidak lagi disebut nur(cahaya)ani,
melainkan zhulmani.
Zhulm = gelap (aniaya). Dari kata inilah
timbul istilah zhalim. Orang yang zhalim bisa dipastikan hatinya sedang redup
kekurangan cahaya yang sebenarnya dapat berpijar dengan sendirinya atau dipijarkan
kembali dengan bimbingan wahyu, yaitu kepatuhan kepada ajaran agamanya.
Jadi, orang
yang zhalim
itu tidak
selalu seperti
raja yang sewenang-wenang, marah-marah sambil membawa pecut. Orang yang
berbuat keburukan (dosa) tapi tidak merasa —meskipun orangnya berpenampilan santun— tetap saja
namanya zhalim.
Semoga kita senantiasa memiliki kepekaan
nurani, jauh dari kegelapan hati alias zhalim.
Karena hal itu merupakan bagian dari hakikat
kemanusiaan kita, karunia terbesar dari Allah SWT.
Oleh : Agus Salim | ed. 126. th. V, 16
Sep 2016
No comments