BUAT APA SEKOLAH?
Pada awal abad ke-19, para 'orang terdidik'
dari Virginia mengangkut anak-anak suku Indian di provinsi-provinsi
utara negara bagian Amerika Serikat itu untuk disekolahkan di kota agar
'lebih beradab'. Setelah dianggap tuntas, mereka -para sarjana ini-
dikembalikan ke sukunya. Apa jadinya? Alih-alih bermanfaat bagi nusa dan
bangsa, mereka malah dianggap tak bisa jadi apa-apa.
Para tetua
suku-suku itu melayangkan protes kepada pihak sekolah dan universitas di
Virginia. Mereka kecewa, anak-anak Indian yang jauh dan lama
disekolahkan, ketika pulang justru sudah tak bisa bicara dengan bahasa
ibunya. Anak-anak itu tak bisa bercocok tanam, tak tangkas berlari dan
berburu, tak bisa menahan lelah dan lapar. Dan ini yang fatal, mereka
tak memahami kebijaksanaan leluhur dan tak menyadari keterhubungannya
dengan alam.
Dalam kondisi semacam itu, mereka -yang terdidik
itu- tak bisa menempati posisi apapun dalam struktur masyarakat
kampungnya. Tak bisa jadi pemburu, prajurit, apalagi penasihat. Intinya,
mereka tak bisa jadi apa-apa. Para tetua pun kapok, mereka tak lagi
sudi mengirim anak-anaknya untuk 'dididik' ala sekolahan. Mereka justru
menawarkan, "Lebih baik anak-anak dari Virginia itu yang dibawa kesini.
Biar kami didik agar paham bagaimana untuk hidup." Demikian dikutip oleh
Omi I. Naomi pada pengantar editorialnya dalam buku Menggugat
Pendidikan.
Sangat naif kalau kita menganggap orang yang sudah
bersekolah tinggi adalah pribadi terdidik. Tidak. Seseorang baru bisa
dikatakan terdidik setidaknya setelah tiga puluh tahun ia belajar dari
kehidupan nyata. Begitu kata Syaikh Hamza Yusuf. Aku suka tokoh ini
bukan hanya sebab dia ulama yang open-minded dan berwawasan Timur-Barat,
tetapi juga sebab sering membicarakan perihal pendidikan Islam, mulai
dari akar filosofis, hingga strategis praktis. Plus merealisasikannya
dalam bentuk Zaytuna College, tak sekedar teori.
Ada satu gagasan
filosofis yang disampaikan Syaikh Hamza dalam momen wisuda siswa
Zaytuna. Anda bisa saksikan koleksi videonya di Youtube. Yakni bahwa
pendidikan tidak boleh lepas dari jiwa kesakralan (sacred). Pendidikan
tak boleh meniadakan hakikat tujuan manusia hidup di muka bumi.
Pendidikan tanpa jiwa hanya akan melahirkan monster yang mengeksploitasi
segalanya demi kepuasan nafsu, yang goal-nya sekedar menghasilkan uang
dan kemakmuran bendawi. Kita boleh belajar apapun, namun harus tetap
dilandasi dengan spiritualisme agar memekarkan kedamaian, dan dibalut
dengan humanisme agar membuahkan kemanfaatan.
Menurutnya, dalam
proses pendidikan, institusi sekolah hanya berperan seperlunya saja.
Yakni 'sekedar' membekali peserta didik ilmu-ilmu alat untuk mengupas
segala fenomena yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu-ilmu
alat ini disebut 'liberal arts' yang bermakna; perangkat untuk
membebaskan. Yaitu mencakup tata bahasa, logika, dan retorika.
Dalam tradisi pendidikan Islam, pemapanan ilmu-ilmu alat ini sangat
diutamakan, terutama dua jenis ilmu alat; kebahasaan dan numerik. Maka
tak heran sampai hari ini kita bisa lihat di pesantren-pesantren salaf
para santri dituntun untuk menguasai nahwu sebagai pisau bedah utama
bagi ilmu-ilmu selanjutnya.
Setelah dibekali dengan ilmu-ilmu
alat, yakni mapan secara kebahasaan dan logika, siswa akan berkembang
seiring dengan intuisi belajarnya. Entah dalam ranah sains maupun
humaniora. Untuk kemudian mengembangkan bakat bawaannya, serta menemukan
jalannya bertahan hidup. Sekolah tak perlu kuatir terhadap masa depan
siswa, tak usah sok mempersiapkannya agar siap bersaing dengan yang
lain, mencetak agar ini itu, dan bla bla bla. Tak usah. Itu justru akan
menyebabkan penyeragaman dan wabah kontestasi yang menjadi penyakit
kronis, sebagaimana diidap oleh sistem pendidikan modern.
Yang
terjadi saat ini dan kita alami bukanlah pemapanan ilmu-ilmu alat. Para
siswa di tingkat sekolah dasar, menengah, dan atas, dijejali dengan
materi-materi membludak (kebanyakan adalah materi-materi yang tak
perlu), dan dituntut dengan standar-standar penyeragaman yang absurd.
Seakan-akan seorang siswa ketika lulus akan jadi superhuman yang
mengetahui dan cakap dalam banyak hal. Apalagi kalau kita lihat praktek
persekolahan di beberapa pesantren yang mendakwa 'modern', dimana para
santri mendapat beban belajar ekstra siang dan malam, dengan tujuan;
agamanya dapat, umumnya juga. Tujuan yang sangat mulia.
Tapi
nyatanya tidak, lebih banyak di antara siswa yang ternyata 'tersiksa'.
Capek betul mereka digempur tumpukan pelajaran plus pekerjaan rumahnya.
Namun seringnya kita berapologi bahwa semua 'penyiksaan' itu adalah
fitrah belajar; berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian. Lagipula
banyak juga di antara mereka yang berhasil, bernilai bagus, dapat
beasiswa, lanjut ke luar negeri, dan jadi 'orang'. Ini adalah contoh
logika eliminasi yang hanya mengapresiasi para juara dan
mengenyampingkan para produk gagal.
Kegelisahan semacam ini juga
diungkapkan Krista Stewart dalam memoarnya, Journey to Free Teaching.
Wanita yang sudah belasan tahun berkecimpung dalam dunia persekolahan
ini merasa banyak hal tak beres dalam sistem pendidikan modern,
khususnya di Amerika. Namun ia sering terbungkam ketika banyak orang di
sekitarnya memblokir, "Apanya yang salah? Semua baik-baik saja. Buktinya
kau bisa jadi orang sukses, bisa berpikir kritis, bisa bekerja nyaman.
Tak ada yang salah. Adapun mereka yang gagal, ya salah mereka sendiri
yang tak mau disiplin mengikuti sistem."
Awalnya ia mengiyakan.
Namun makin banyak membaca, berdiskusi, dan mengamati, ia makin berontak
dengan keadaan. Cara pandang orang-orang telah sesat, katanya. Mereka
menganggap normal jika hanya ada lima siswa yang berhasil dalam kelas
berisi empat puluh orang. Mereka bilang ini seleksi alam. Sedangkan
menurutnya, ini kezaliman.
Logika seleksi semacam itu -yang
menjangkiti masyarakat kita juga- tidak akan kita temukan di Finlandia,
negara dengan sistem pendidikan terbaik yang punya teknik assesment yang
sangat unik. Kau bisa baca tentang manajemen pendidikan ciamik di sana
dalam buku Pasi Sahlberg, Finnish Lessons.
Tentu saja problem di
atas bukan salah guru, bukan tanggung jawab mereka yang sekedar menjadi
tenaga ajar dan begitu terikat dengan birokrasi. Ini adalah problem
filosofis tentang eksistensi sekolah itu sendiri. Paradigma yang meraja
sekarang seakan-akan terma pendidikan dimonopoli oleh institusi sekolah.
Sehingga terjadilah apa yang telah terjadi. Maka wajar jika belakangan
lebih banyak orang tua yang memilih homeschooling.
Sekolah,
sekali lagi, hanya bertugas membekali siswa ilmu-ilmu alat. Sisanya,
biar mereka 'membaca dari kelas-kelas vokasional dan -terutama-
pengalaman kehidupan. Kalau kau sekolah agar menjadi orang sukses dalam
hal finansial dan sosial, maka kau salah arah. Bukannya menuju puncak,
kau justru menjemput jurang. Jurangvketidaktenangan di dunia, dan jurang
penyesalan di akhirat. Setidaknya itu yang kupahami dari petuah Imam
Ghazali ketika mengawali uraiannya dalam Bidayatul Hidayah.
Wejangan sang imam ini diamini oleh John T. Gatto, seorang praktisi
pendidikan yang 30 tahun melalang dunia persekolahan, kemudian menulis
buku yang sangat provokatif mencemooh sekolah; Weapons of Mass
Instruction. Dia bilang bahwa sekolah adalah salah satu manipulasi
tercanggih dalam peradaban manusia, di mana seorang jenius dan berbakat
bisa lumpuh potensinya. Dan anak lugu yang mencintai nada-nada semacam
Adolf Hitler, bisa tertekan oleh berbagai tuntutan sekolah, kemudian
terbentuk menjadi pembantai ras manusia di Perang Dunia pertama. Dan
orang-orang kreatif semacam Bill Gates lebih memilih keluar dari pusaran
itu sehingga ia bisa mengembangkan inovasinya tanpa terpenjara
standar-standar formalitas.
Terakhir. Kuharap kita tak harus
sepakat dengan ungkapan Mbah Nun di berbagai kesempatan Maiyah, bahwa;
"Sekolahlah sampai kau tak bisa lagi dibodohi oleh sekolah." Kita tak
sepesimis itu terhadap lembaga persekolahan. Kuharap kita masih bisa
memperbaikinya bersama. Setidaknya mempraktekkan efisiensi proses
belajar di sekolah 'hanya' untuk membekali siswa dengan ilmu-ilmu alat
yang bakal berguna betul baginya dalam kehidupan nyata. Tak lebih.
Source: Ibnu Zahid Abdo El-Moeid
No comments