7 Sebab Kesombongan
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ،
قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ
حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ
وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada
kesombongan walaupun sebesar dzarrah (molekul terkecil). Seorang laki-laki berkata,
‘Sesunggunya seseorang menyukai pakaian dan sandalnya bagus’. Rasulullah
bersabda, ‘Sesungguhnya Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan. Sombong
itu adalah menolak hak dan merendahkan manusia’.” (H.R. Muslim dan Tirmidzi)
Tahukah Anda, dosa apa yang pertama kali
dilakukan oleh
makhluk Allah? Jawabannya adalah al-kibru alias sombong. Ya, benar
sekali. Sombong merupakan kelakuan Iblis saat Allah menyuruh untuk sujud
sebagai penghormatan kepada Adam yang baru diciptakan. Para malaikat bersujud
menaati perintah, tetapi Iblis enggan. Alasannya saat itu adalah anggapan Iblis bahwa Adam tidak lebih
mulia daripada dirinya.
Adam diciptakan dari tanah, sedangkan Iblis diciptakan dari api.
Anggapan Iblis bahwa dirinya adalah makhluk mulia sangat keliru. Kenapa?
Ya, genting saja yang terbuat dari tanah, posisinya berada paling atas. Ini
isyarat bahwa jika manusia terbuat dari
tanah, maka manusia pun posisinya bisa seperti genting, mulia berada di atas
makhluk-makhluk Allah lainnya termasuk Iblis. Syaratnya, menjadikan diri patuh
dan tunduk kepada Allah dan Rasulullah. Itulah esensi kemuliaan manusia.
Sekali lagi,
sombong merupakan dosa pertama yang muncul dari makhluk Allah swt.. Dan,
sombong merupakan dosa yang benar-benar Allah benci. Maka, menjauhkan diri dari kesombongan merupakan
bentuk kecerdasan hakiki seorang manusia.
Apakah
Sombong itu?
Sombong dalam bahasa Arab disebut dengan
beberapa kata, yaitu al-kibru, al-fakhru, al-‘ajabu, al-‘uzhmatu,
at-ta’ajruf, at-taraffu’, dll.. Namun, yang lebih familiar adalah
kata al-kibru. Termasuk istilah yang digunakan Rasulullah ketika
menjelaskan definisi sombong adalah kata al-kibru.
Secara bahasa, al-kibru (sombong)
artinya al-‘uzhmah yang berarti merasa mulia. Demikian yang dijelaskan
Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab.
Sedangkan secara istilah, definisi al-kibru
bisa dilihat dari hadits Rasulullah saw. berikut:
اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ
“Sombong
adalah menolak hak dan menyepelekan manusia”
(H.R. Muslim dan Tirmidzi).
Dalam Ihya`
Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengartikan sombong sebagai berikut:
اِسْتِعْظَامُ النَّفْسِ وَرُؤْيَةُ قَدْرِهَا فَوْقَ قَدْرِ
الْغَيْرِ
“Menganggap
mulia dirinya dan melihat kemampuannya di atas kemampuan orang lain”.
Inti dari definisi tersebut terletak
pada dua hal, yaitu menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan
menyepelekan atau menganggap orang lain tidak ada apa-apanya.
Sebab-Sebab
Kesombongan
Imam al-Ghazali dalam Ihya` Ulumuddin
menjelaskan ada tujuh hal yang dapat mendorong seseorang berbuat sombong.
Ketujuh hal tersebut antara lain:
1. اَلْعِلْم (ilmu)
Sejatinya, seorang yang berilmu memiliki
sikap rendah hati. Semakin berisi semakin merunduk. Demikian falsafah padi
mengajarkan. Namun, memiliki ilmu terkadang membuat si pemilik ilmu menjadi
sombong: merasa diri paling pintar, merasa diri paling tahu, merasa diri paling
paham. Orang lain, dianggapnya tidak tahu apa-apa.
Oleh karena
itu, seorang berilmu hendaknya hati-hati karena bisa saja ilmu yang dimilikinya
malah membuatnya angkuh. Kok bisa begitu? Ya, bisa saja. Setan kan
punya segudang cara untuk menjerumuskan manusia ke lembah dosa dan maksiat? Termasuk
menyusupkan kesombangan kepada orang berilmu. Maka, kita berlindung kepada
Allah dari hal yang demikian.
Sombong itu urusan hati, tetapi sombong
bisa dilihat dari fisik atau tampilan luar. Hanya saja, tidak selamanya fisik
mencerminkan hati. Misalnya, karena merasa tahu dan paham, seorang ‘alim
menjawab pertanyaan jama’ahnya dengan nada tinggi ditambah retorika dan mimik
mukanya mencerminkan ketidaktawadhuan. Orang berilmu seperti ini bisa saja
sedang dihinggapi setan dengan menunggangi kesombongan.
Jamaluddin bin
Muhammad al-Qasimi dalam kitabnya Mau’izhatul Hasanah min Ihya` ‘Ulumuddin
menjelaskan bahwa dalam hal ilmu menjadi penyebab kesombongan, ada dua faktor
yang memungkinkan terjadinya kesombongan dengan ilmu. Pertama, sibuk dengan ilmu, tetapi ilmunya bukan ilmu
yang hakiki. Ilmu yang hakiki sejatinya akan membuat seorang hamba mengenal
Allah yang kemudian ia memiliki rasa takut kepada Allah (khasy-yah).
Kedua, menyelami ilmu tetapi dengan cara yang tidak baik, hati yang kotor dan
akhlak yang tercela. Maka, ilmunya akan membuatnya sombong.
2. اَلْعَمَلُ
وَالْعِبَادَةُ (amal dan ibadah)
Penyebab kesombongan yang kedua adalah
amal dan ibadah. Merasa amal yang telah dilaksanakan begitu banyak, besar dan
berharga, hati seseorang menjadi angkuh. Ia menganggap orang lain tidak bisa beramal
seperti yang ia lakukan. Padahal, dalam hal ini Rasulullah saw.
bersabda:
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ
يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah
seseorang dilabeli buruk ketika ia merendahkan saudaranya yang muslim”. (H.R.
Muslim).
Selain itu,
ketika ia melihat orang lain beramal dan beribadah, ia merasa amal dan
ibadahnya lebih baik daripada orang tersebut. Dengan hanya rajin ke pengajian,
ia merasa sudah cukup amalnya. Dengan tahajud setiap malam, shadaqah rutin dan
besar, umrah dan haji, ia merasa sudah mendapat kunci surga.
Kita harus
hati-hati dari perasaan demikian. Hal seperti itu merupakan bisikan setan agar
amal dan ibadah kita menjadi rusak. Sudah cape-cape beramal, ternyata amal
menjadi rusak gara-gara kesombangan ketika atau selepas beramal. Sedangkan
kesombongan itu sama saja menghinakan diri di hadapan Allah karena jelas-jelas
tidak ada yang bisa menandingi Allah dalam hal keutamaan dan kekuasaan.
3. اَلْحَسَبُ
وَالنَّسَبُ (keturunan,
nasab)
Selanjutnya,
kesombongan bisa saja timbul karena faktor keturunan dan nasab keluarga.
Memiliki orang tua sebagai tokoh besar suatu masyarakat, seseorang busung dada
ketika berhadapan dengan yang lain. Memiliki
saudara yang sukses berpendidikan tinggi, seseorang membangga-banggakan diri di
depan sahabat-sahabatnya.
Ini jelas tidak lah patut. Kenapa? Ya…
bukan dirinya yang menjadi tokoh besar tetapi orangtuanya. Bukan pula dirinya
yang berpendidikan tinggi, melainkan saudaranya. Lalu, bagaimana dengan
dirinya? Apakah sudah melebihi mereka atau minimal seperti mereka? Maka, kenapa
harus sombong?
Dalam pelajaran Adabiyah (moral, etika),
ada sebuah ungkapan:
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ
أَبِي... لَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَاذَا...
“Bukanlah
disebut pemuda yang mengatakan, ‘Inilah ayahku’… tetapi pemuda itu adalah yang
mengatakan, ‘Inilah aku’.”
4. اَلْجَمَالُ (ketampanan,
kecantikan)
Menurut A, si Fulan itu tampan. Tetapi,
B mengatakan biasa saja. Menurut Abdullah si Fulanah cantik. Namun, Abdurrahman
mengatakan standar-standar saja. Nah, siapa yang benar? Si A atau B? ini
tergantung “selera”. Jadi, dua-duanya benar perspektif masing-masing.
Ilustrasi sederhana tersebut menunjukkan
bahwa ketampanan dan kecantikan tidak bisa menjadi standar atau ukuran mulianya
seseorang. Oleh karena itu, tidak sepatutnya ketampanan atau kecantikan
menjadikan seseorang angkuh karena tampan dan cantik bersifat nisbi (relatif).
Namun, bisa saja karena gangguan setan, seseorang sombong dengan tampilan
fisiknya yang indah.
Setan akan terus menggoda anak Adam agar
ketampanan dan kecantikan yang dimilikinya ia pamer-pamerkan. Selain itu, orang
lain dianggapnya tidak lebih tampan atau cantik daripada dirinya, kemudian ia
merasa gagah dengan penampilannya.
Sebagai penguat, ada sebuah hadits yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى
صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat
bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal
kalian” (H.R. Muslim).
5. اَلْمَالُ (harta)
Harta adalah penyebab kesombongan
selanjutnya. Selain sebagai alat beribadah, harta bisa saja dijadikan alat oleh
setan untuk menyusupkan kesombongan ke dalam hati manusia. Kita harus
berhati-hati dalam bab harta. Harta itu fitnah (ujian) dan salah satu ujiannya
adalah bisakah kita menjadi tawadhu meskipun harta melimpah ruah? Bisakah kita
menjadi sederhana seperti Rasulullah yang kaya raya, tetapi Beliau tetap
berpola sederhana? Informasi tambahan, mahar Rasulullah ketika menikah dengan
Khadijah sebanyak 20 ekor unta merah yang per ekornya senilai Rp 434.178.200 –
Rp 651.267.300. Total mahar minimalnya berarti Rp 8.683.564.000 (8,6 Milyar).
Sebenarnya harta itu bukanlah milik
kita, melainkan milik Allah yang dititipkan kepada kita. Jadi, jika ada orang
yang sombong dengan hartanya yang melimpah, maka orang itu tidak tahu malu. Adéan
ku kuda beureum.
Sekali lagi, mari berhati-hati agar
harta yang dimiliki tidak menjadikan kita berbangga diri alias sombong. tetapi,
harta kita jadikan sebagai alat beribadah, alat untuk masuk kedalam surga.
6. اَلْقُوَّةُ
وَشِدَّةُ الْبَطْشِ (kekuatan, otoritas)
Penyebab kesombongan selanjutnya adalah
kekuatan, kemampuan, dan kehebatan yang dimiliki. Lagi-lagi kita harus ingat
kepada Allah yang telah menciptakan kita dengan segenap kemampuan dan keunikan.
Sombong dengan kemampuan diri, sama saja sombong dengan pemberian. Karena,
kekuatan dan kemampuan diri merupakan pemberian Allah.
Kita pun perlu berlindung diri kepada
Allah agar ketika kita memiliki skill mapan dalam hal tertentu, dalam
dakwah, pendidikan, bisnis, dll., kita tidak memiliki kesombongan di dalam
hati.
7. اَلْأَتْبَاعُ وَالْأَنْصَارُ
وَالْعَشِيْرَةُ وَالْأَقَارِبُ (pengikut, penolong [backing], kelompok, kerabat)
Sebab yang terakhir adalah pengikut, backing,
kelompok atau kerabat dekat. Karena teman dekat adalah seorang pejabat atau
anggota dewan, lalu seseorang bebangga diri. Karena memunyai bodyguard
yang gagah dan berotot, seseorang kemudian membusungkan dada. Karena memiliki
pengikut (umat) yang banyak dan berstrata tinggi, seorang ustadz atau kiayi
merasa diri sukses dakwah. Semua ini adalah jebakan yang setan buat. Hati-hati
merupakan sikap terbaik dalam hal ini.
Penutup
Ketujuh sebab yang disebutkan Imam
al-Ghazali dalam kitabnya tersebut adalah representasi dari banyak hal lain
yang juga bisa menyebabkan diri menjadi sombong. Pada intinya, kesombongan
bukanlah hak makhluk, melainkan hak Allah swt.. Sekali saja makhluk berlaku
sombong, berarti ia “ngajak” tarung dengan Allah swt..
Semoga Allah melindungi kita dari
sikap-sikap yang tidak baik termasuk sikap sombong ini.
اَللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ
“Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran akhlak, amal dan hawa nafsu”
Oleh: Yusuf Awaludin | Buletin Tanwir 2012
No comments