PEMERSATU UMAT
Dengan merujuk kepada konsep diin (agama) yang utuh, masalah tentang persatuan umat Islam ada di posisi sebagai hasil dari proses ber-Islam dan dapat dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman.
Kalau
kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata
‘persatuan’ atau dalam bahasa Arabnya ittihad.
Karena kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, dan tidak ada kaitan langsung dengan Islam.
Maka dari itu, mungkin karena alasan inilah tidak
terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Istilah yang digunakan untuk makna
persatuan yang sarat dengan nilai itu bisa kita temukan pada ayat berikut:
Dan berpeganglah (i’tashimu)
kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu
dengan nikmat Allah menjadi bersaudara (ikhwana); dan kamu telah berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran : 103)
Pada ayat di atas kita dapati tiga kata kunci yang penting yaitu: i’tashimu, allafa dan ikhwana yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan
proses.
‘Ashoma artinya menjaga,
memproteksi, mempertahankan. I’tashoma bi
artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan
pada sesuatu (Lihat, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia: 938-939).
Hablullah
(tali Allah) artinya ‘ahdullah atau perjanjian (ikatan) antara hamba dan
Tuhannya, seperti dalam ayat-ayat selanjutnya QS. Ali Imran ayat 112.
Disebutkan juga pendapat yang mengatakan bahwa Hablullah (tali Allah)
artinya adalah al-Qur’an. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir
salah satunya dari al-Harits al-A’war dari shahabat Ali bin Abu Thalib tentang
sifat al-Qur’an berikut:
“Huwa hablullah al-matiin, wa
shiroothahu al-mustaqiim.” Ia
(al-Qur’an) adalah tali Allah yang kokoh, dan jalan-Nya yang lurus. (Lihat,
Tafsir Ibnu Katsir, II : 89)
Kebalikan i’tishom (berpegang pada
tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dengan demikian, makna ayat ini dapat kita pahami dari dua sisi: Pertama,
Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga,
mempertahankan dan berpegang sekaligus pada al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam
telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tishom maka selanjutnya Allah menjinakkan (allafa) hati-hati mereka, sehingga
dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan diin, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini
kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini juga dipertegas
kembali di dalam ayat lainnya:
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara (ikhwatun) (QS. al-Hujurat : 10).
Dari
uraian di atas maka dapat kita simpulkan bahwa istilah yang tepat untuk
persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam
ber-i’tishom. Yakni kesamaan tempat kembali yaitu al-Qur’an dan Sunnah, kesamaan
tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan
dengan ber-Islam itu sendiri.
Karena
menggunakan istilah ikhwatun yang bermakna hubungan sedarah maka
watak dasar ukhuwwah hampir sama dengan hubungan sedarah, seperti yang
ditegaskan dalam hadits
Nabi:
Sesungguhnya
Allah mengharamkan atas orang mu’min dari orang mu’min yang lain, darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (Lihat, Shohih Muslim, IV : 1986)
Bahkan
eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh Nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau
bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi,
saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu
laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya
membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur
semalaman. (Lihat, Shohih
al-Bukhari, VIII : 10; Shohih Muslim, IV : 1999)
Orang
mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya
menguatkan sebagian yang lain. (Lihat, Shohih al-Bukhari, I : 103; Shohih Muslim, IV :
1999)
Perintah-perintah untuk tidak
berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan:
Sebab
itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (QS. al-Anfal :
1, Lihat juga QS. an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi,
tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi.
Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah
manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan
fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan diin yang dasarnya
adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga kata kunci ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia
adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga
kata kunci ini, maka penyelesaiannya
adalah dengan apa yang disebut allafa atau ulfah
(saling menjinakkan). Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan
tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat berukhuwwah.
Kemampuan dan kemauan seseorang
untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Oleh: Agus
Salim | ed. 139. th. V, 16 Des 2016
No comments